Sejarah Ditulis Para Pemenang

Husnizar Hood

“Sejarah itu di tulis oleh para pemenang”, begitu ucap Mahmud kawan saya tapi kalimat itu sebenarnya bukan kalimat dari dia, itu adalah ucapan dari Winston Churcill perdana menteri Inggris yang sangat terkenal itu.

Kawan saya Mahmud mendehem panjang, hampir dehemnya menjadi batuk yang terdengar agak dibuat-buat, “Kalau kita menang semua sejarah bisa kita tulis ye Tok?”, tanya kawan saya itu dia bertanya kepada saya seperti tak memerlukan jawabannya.

“Terus kalau dia menang tapi dia tak mau juga menulis sejarah yang ada itu, cemana pula Mud?”, tanya saya kepada Mahmud, kali ini saya agak serius menunggu jawaban yang paling benar akan keluar dari mulut kawan saya itu.

“Itu namanya dia pemenang yang pecundang?”, jawab Mahmud datar dan sungguh jawaban diluar dugaan saya.

Ah, mana ada pemenang yang pecundang, dalam pikir saya yang ada itu kalau kita kalah maka kita harus siap-siap menjadi pecundang.

Atau menang pecundang itu mungkin dia memang berkuasa hari ini tapi didalam sejarah perannya tak begitu nampak dan sangat kecil kalaupun ada mungkin dia malah memainkan peran ganda, bisa saja dia waktu itu hanya jadi tukang angguk dan tukang geleng, macam lagu itu “angguk-angguk, geleng-geleng”, saya mencerna sendiri.

Setiap bulan September tiba saya selalu bilang sambil berseloroh kepada para pejuang itu kalau bulan ini adalah bulannya para pejuang, bulan ini adalah bulan hari rayanya para pejuang, mereka disanjung-sanjung, diundang upacara, dikasi makan enak, dikasi kamar hotel dan mungkin juga baju seragam dan mereka sepertinya dipuja-puja.

Banyak diantara mereka yang sudah tidak ada, kembali keharibaannya tapi perjuangan mereka tercatat dengan jelas meskipun ada juga selama ini mereka diam tapi pada ketika tiba bulan ini mereka mengeluarkan bukti-bukti di media sosial bahwa mereka sebenarnya adalah pejuang juga.

“Hari Raya?”, tanya Mahmud kepada saya, “Kalau bulan September ini  adalah hari raya para pejuang terus bulan puasa mereka kapan!Tok?”

“Sisanya mereka puasa terus Mud”, jawab saya sambil melihat Mahmud kawan saya itu terkekeh dia seperti sudah tahu dengan jawaban saya.

24 September adalah hari terbentuknya provinsi Kepulauan Riau, provinsi yang diraih dengan perjuangan panjang, Ditahun 2025 ini menjadi hari jadi yang ke 23 tahun terbentuknya, provinsi yang dikatakan Mahmud berkat sebuah perjuangan bukan hadiah atau hasil kompromi.

Bagaimana tidak, pemerintah provinsi Induknya yakni Riau tidak pernah menyetujuinya bahkan ketika sudah disahkan oleh DPR pun, Presiden waktu itu tidak mau menandatanginya tapi dalam undang-undang dalam waktu tertentu jika tidak ditanda tangani Undang-undang itu akan tetap menjadi sah dan berlaku.

Belum lagi menunggu waktu adanya pemerintahannya kita menunggu lama sekali apalagi harus pakai Ibu kota sementara di Batam sebelum pindah ke Tanjungpinang penuh intrik gejolak politik.

“Banyak orang yang pernah berjasa banyak orang yang telah berjuang, banyak juga mereka  yang hanya turut mendoakan saja tapi lebih banyak lagi mereka hanya pandai menceme’eh sambil mengendap-endap ditikungan mengambil alih kekuasaan”, sergah Mahmud.

Saya hanya tersenyum saja mendengar ucapan Mahmud itu, rasanya itu adalah cerita lama, soal jasa siapa berjuang siapa yang paling ber “uang” dan siapa berkhianat itu tidaklah menjadi penting kalau hari ini negeri yang diawal perjuangan kita dulu itu kita elu-elukan dengan slogan “merangkai pulau memakmurkan negeri” itu terwujud, maju dan sejahtera.

Seperti Mahmud yang pernah saya tanya, apa peran besar awak dalam berjuang dulu, dia jujur dia katakan dia tak banyak berperan paling hanya disuruh membuat spanduk acara atau spanduk penyemangat atau ungkapan perasaan masyarakat dan itupun dia dibayar karena tulisannya memang agak bagus, waktu itu belum ada spanduk cetak digital seperti sekarang ini.

Kalau saya paling hanya diajak-ajak saja karena saya mengurus kelompok kesenian setiap acara berjoget berdangkung maka saya dan anggota sayalah yang disuruh tampil ke depan sampai pada demo di bundaran Hotel Indonesia Jakarta dan di teras gedung Nusantara DPR RI sayalah yang paling kuat menabuh gendang. Itu saja peran kami.

Kami memang tak pantas masuk dalam sejarah tapi kami berhak bertanya kenapa buku sejarah itu tak pernah ada, 23 tahun lalu itu adalah seusia seorang anak yang lahir dan kini sudah menjadi Mahasiswa, artinya hampir satu generasi sudah lahir dan mereka berhak tahu tentang sejarah ini.

Buat saja buku sejarah itu dan tak ada buku sejarah yang sempurna dia adalah sebuah konstruksi untuk terus kita sempurnakan dan perbaiki.

Bagaimana Tanjungpinang yang pernah gemilang dan kita berpikir ketika provinsi ini terbentuk dia akan semakin cemerlang ternyata hanya malang melintang dan masuk pula dalam daftar yang akan di lelang.

Kita gadai 30 tahun atau kita sewakan atau kita kontrakkan dan kita pikir itu adalah jalan pintas dari ide-ide kita yang paling bernas.

“Atau bernaas?”, Tok tanya Mahmud

Saya diam saja, seperti saya lama terdiam lama, Entah kenapa hati bergetar ketika di Tanggal 24 September 2025 kemarin itu ada satu nama yang menerima piagam Penghargaan sebagai pejuang provinsi Kepulauan Riau inj.

Nama itu Syamsimar binti Emar, saya dan Mahmud memanggilnya Kak Syam nama populernya Mak Wo, dia populer dikalangan komunitasnya sebagai orang yang cekatan dan tangkas, juga ikhlas kalau menolong orang tak peduli yang ditolongnya itu lebih tua darinya atau lebih muda.

Beberapa kali anak saya sakit dia menyuruh saya dan isteri saya tidur dan dia menjaganya sepanjang malam, ketika kami berobat ke negeri jiran sebelum kami tiba dia sudah sampai duluan entah datang dari mana.

Seharusnya hari itu ia bersama rombongan syakawatnya akan ke Singapura tapi menjelang subuh dia terjatuh dan dia pergi dengan tenang seperti yang ia idam-idamkan dan ia pergi seperti seorang pemenang.

“Mak Wo itu paling sibuk waktu kita berjuang dulu, apa saja yang bisa ia kerjakan akan ia kerjakan dan yang paling kami ingat adalah dia menjadi salah satu orang yang tak segan-segan menasehati kami apa yang harus kami lakukan atau harus kami hindarkan dan yang ia nasehati itu bukan sembarangan dia adalah tokoh sentral perjuangan provinsi Kepri waktu itu”, saya menceritakan ulang semua itu kepada Mahmud walaupun sebenarnya kawan saya itu sudah tahu tentang cerita itu.

Saya memang tak hadir dalam upacara HUT Provinsi Kepri kemarin, atau kalimat sebenarnya adalah saya tak diundang, dan Mahmud kawan saya mengolok-olok sambil bilang kalaupun saya diundang sayapun tak akan datang.

Melalui media sosial dan WA grup saya melihat Irma, menantu dari anaknya yang kedua yang mewakili untuk menerima piagam penghargaan itu, kemudian ketika sore saya bergegas ke rumah mereka yang tampak masih berduka, saya lihat Bang Herizal Hood suaminya meletakkan piagam penghargaan itu di sebuah meja kecil di ruang tamu dia meletakkannya dengan perasaan bangga.

Sejarah memang sudah ditulis dan kita telah membacanya sampai kita meletakkannya di sebuah meja kecil atau menggantungnya di sebuah sudut dinding yang paling kita suka melihatnya.