Oleh: Thasa Nadia
Mahasiswi Program Studi Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang
Dalam sejarah perkembangannya, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi langsung. Artinya disini rakyat menjadi penentu pada setiap perhelatan pesta demokrasi.
Oleh karena itu pemerintah dan DPR telah memutuskan pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Awalnya jadwal pernah tertunda. Keputusan ini sebelumnya telah mendapat saran dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan cara menciptakan kerumunan massa seperti rapat umum dan konser musik, serta membatasi pertemuan tatap muka dan jumlahnya juga dibatasi.
Dengan sebagian besar kampanye diperkirakan akan dilancarkan di dunia maya, organisasi pemantau Pemilu memperingatkan akan bahaya konten disinformasi dan berita bohong. Bagaimanapun juga, tidak semua kandidat dalam Pilkada serta-merta mengalihkan kampanye mereka ke media sosial. Sedikitnya ada empat alasan kenapa KPU tetap melaksanakan Pilkada. Menurut KPU, yang pertama adalah soal amanat peraturan yakni dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2020 sebagai landasan hukum.
Artinya KPU harus menjalankan amanat undang-undang. Kedua, jika Pilkada dihentikan dengan alasan Pandemi, maka tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Ketiga, adalah hak konstitusional (memilih & dipilih) pada periode pergantian kepemimpinan di tingkat daerah (Provinsi & Kabupaten/Kota) harus terus dilakukan.
Dan kemudian yang keempat adalah soal tata kelola anggaran. Jika Pilkada ditunda melewati tahun 2021 maka anggaran yang cair tahun 2020 akan percuma karena melewati tahun anggaran.
Karena beberapa daerah yang ada di Indonesia akan tetap melaksanakan pemilu saat pandemi Covid-19. Namun apakah kita sudah siap tanpa ada risiko terjadinya klaster baru pandemi Covid-19?
Walau hingga saat ini sudah ada jumlah kasus infeksi virus Korona yang memperlihatkan penurunan dan pemulihan aktivitas yang dilakukan melalui kebijakan kenormalan baru telah diterapkan banyak daerah, namun risikonya masih cukup besar. Tetapi tampak nya pemerintah kita akan tetap melaksanakan Pemilu tersebut.
Karena Pilkada di Indonesia tidak menerapkan pemungutan suara pos dan secara online melalui internet, maka prinsip electoral distancing harus dipedomani sebagai tindakan pencegahan penularan virus.
Menjaga jarak fisik dan mencegah kontaminasi objek oleh orang yang terinfeksi, sanitasi tangan, pemakaian masker, dan Alat Pelindung Diri (APD), harus menjadi bagian penting dari tata cara selama Pilkada. Tata cara ini harus disosialisasikan kepada seluruh stakeholder Pilkada dan para pemilih. Pilkada adalah kegiatan yang melibatkan banyak orang yang tidak hanya pada hari pemungutan suara, tapi juga pendataan pemilih, serta selama masa kampanye dan penetapan hasil.
Untuk mencegah atau mengurangi interaksi orang, penerapan protokol kesehatan harus menjadi bagian dari kode etik, dan dapat diberikan sanksi bagi yang melanggar.
Dalam konteks ini, KPU harus merencanakan kegiatan Pilkada secara menyeluruh untuk mencegah tindakan yang mengarah pada risiko yang minimal.
Tahapan kampanye dan pemungutan suara akan menjadi titik krusial yang rawan menjadi risiko penyebaran virus. Kampanye terbuka di lapangan akan memiliki risiko lebih besar dibanding pertemuan terbatas dengan menjaga jarak fisik yang ditentukan.
Tingginya kasus infeksi Covid-19 di kalangan politisi di Iran yang terjadi akibat kontak dengan konstituen selama pemilihan, harus dijadikan pelajaran oleh kita untuk melakukan pemilihan di masa sekarang ini. Juru kampanye dan peserta kampanye harus menjaga jarak yang aman sesuai protokol kesehatan dengan memakai masker atau APD, serta mengurangi sentuhan yang tidak perlu selama kampanye.
Lokasi dan segala peralatan pendukung kampanye seperti sound system, mikrofon, layar, dan peralatan musik, harus disterilkan terlebih dahulu. Calon dan juru kampanye harus menjadi contoh yang baik tentang tindakan pencegahan untuk mengurangi penyebaran Covid-19.
Penyelenggaran Pilkada di tengah pandemi memang tidak mudah. Hal ini dikarenakan Pemilu harus mengelola dua aspek sekaligus.
Yakni teknis pelaksanaan dan ketaatan protokol kesehatan. Pasalnya, hal tersebut dibutuhkan untuk menjamin proses pilkada berlangsung dalam situasi terkendali. Sehingga, ajang Pilkada tersebut tidak menciptakan cluster positif Covid-19 baru.
Peluang yang sama untuk kampanye menjadi penting untuk pilkada yang adil. Semua peserta pilkada harus memiliki akses yang adil ke media, termasuk pengaturan dana kampanye. KPU dapat memfasilitasi media pengenalan gambar setiap pasangan calon dan platform politiknya di tempat-tempat strategis yang telah ditentukan. Debat calon bisa lebih banyak dilakukan untuk menghadirkan visi, misi, dan program bagi pasangan calon. Tempat pemungutan suara (TPS) harus dipilih di lokasi yang aman dan mudah diakses dengan protokol kesehatan.
Mulai dari masuk lokasi, antrean, tempat cuci tangan, tata letak kursi petugas dan undangan, keluar lokasi, serta jumlah pemilih untuk menghindari kerumunan sehingga berpotensi terjadinya kontak langsung dengan yang lain.
Dalam kasus Covid-19, kelompok pemilih rentan berisiko tinggi seperti orang tua dapat didahulukan dan bisa didampingi keluarga atau petugas di TPS agar tidak menghabiskan waktu antrean saat pencoblosan berlangsung.
Mengadakan Pilkada di tengah krisis kesehatan masyarakat adalah mungkin, tetapi perencanaan yang besar diperlukan untuk menghindari agar tidak memperburuk situasi yang sudah mengerikan.
Untuk itu, melindungi kesehatan demokrasi sambil melindungi kesehatan masyarakat harus menjadi pedoman KPU dalam merancang tahapan Pilkada serentak 9 Desember 2020 yang sempat tertunda terdahulu.
Untuk itu, dalam Pilkada serentak yang akan diikuti 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, KPU sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari masyarakat, serta partai politik dan pemerintah, untuk menavigasi kompleksitas setiap tahapan Pilkada.
Termasuk berkoordinasi dengan otoritas kesehatan untuk membuat keputusan yang rasional dengan mempertimbangkan faktor politik dan kesehatan masyarakat untuk melindungi pemilih.
Pilkada harus dilaksanakan secara sehat, baik dari aspek kompetisinya maupun jaminan kesehatan. Demokrasi tidak boleh dipertaruhkan reputasinya karena Pilkada yang diselenggarakan tanpa kesiapan yang baik dan membahayakan kesehatan warga negaranya.***