BINTAN – Sejak musim angin utara, perairan Bintan makin tercemar dengan limbah minyak padat hitam (suldge oil). Namun, belum ada penindakan hukum. Pejabat datang ke lokasi, cuma menengok.
Seperti di kawasan pariwisata Lagoi yang sudah bertaraf internasional dan menjual sisi-sisi keindahan pantai Bintan pun, terkena imbasnya. Terkadang, limbah minyak hitam datang dalam bentuk cair saat sampai ke pantai, terkadang butiran-butiran kecil sebesar biji salak dan terkadang butiran bisa sebesar bola tenis, datang menghampiri pantai Bintan.
Dari mana limbah itu? Pastinya dari arah laut perbatasan yang penuh sesak dengan lalu lintas kapal. Hingga saat ini di tahun 2020, belum ada penindakan atau pencegahan terhadap kapal pembuang limbah yang terkutuk itu. Pemerintah datang, meninjau dan mengecek serta menyediakan wadah penampung. Kemudian, mengarahkan agar limbah yang datang dikumpulkan di dalam karung atau drum penampungan.
Pengelola pariwisata pun seperti tak bosan untuk terus membersihkan kotoran yang pasti akan datang lagi. Kewenangan dan soal luasnya lautan dan jangkauan memang bukan sebatas beban pemerintah daerah. Namun juga pemerintah pusat lah yang memiliki kewenangan dan berperan besar, untuk menangkap kapal pembuang limbah. Tanpa ada penindakan hukum, akan seperti sekarang kapal-kapal itu semakin merajalela membuang limbah minyak hitam ke laut, dan akan terbawa ke Bintan saat musim angin utara.
Tidak hanya mengotori pantai Bintan, kedatangan limbah minyak hitam juga merusak biota laut di Bintan, sudah puluhan penyu menjadi korban limbah minyak hitam dan terdampar ke Bintan.
Tidak hanya di Lagoi, bahkan wilayah sepanjang wilayah Utara Pantai Bintan dari Kecamatan Bintan Utara hingga Teluk Sebong, Gunung Kijang dan Bintan Pesisir merasakan akibat sebaran serampangan limbah minyak hitam. Bahkan nelayan pun turut berteriak, karena mengganggu aktivitas serta merusak alat tangkapnya.
Eddy Soesanto, bagian dari pengelola pariwisata di Lagoi nyaris bertemu limbah minyak hitam sejak 3 pekan terakhir ini. Hanya mampu membersihkan dan memungut saja, ditambah rasa mengutuk dalam hati. Setiap saat hanya itu saja yang dapat dilakukan bila bertemu limbah minyak hitam yang menjengkelkan.
”Rasanya ingin terus mengutuk saja setiap limbah datang,” ucapnya, baru-baru ini.
Hal ini pun dirasakan Renal yang kerap menjadi bagian pelaku pariwisata, dan pelopor gerakan peduli laut dan lingkungan. Ia juga mengatakan, semakin berteriak soal limbah minyak hitam, semakin banyak datang limbah itu ke pantai.
Lantas bagaimana dengan kementerian terkait seperti Kementerian Koordinator Kemaritiman di Jakarta? Hingga saat ini, apa yang terjadi di Bintan sepertinya belum didengar jelas. Limbah minyak hitam yang sudah diangkat dari berbagai media cetak, elektronik dan sebagainya pun, belum berhasil mendatangkan pemerintan pusat untuk menangkap pembuang limbah yang merupakan penjahat lingkungan. Jika ada peninjauan lokasi, cuma menengok. Tak ada penindakan hukum.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bintan Aprizal Bahar menyebutkan, untuk kawasan Lagoi, dari Desember 2019 sampai saat ini (2020), sudah ada 277 drum limbah yang terkumpul. Sedangkan di kawasan pantai Trikora, selama Januari 2020 ini, sudah 34 drum limbah yang terkumpul.
Limbah yang sudah terkumpul dibawa ke lokasi pengumpulan limbah B3 di KPLI Batam. Saat ini, drum untuk pengumpulan limbah, sudah kosong untuk dibagikan ke kawasan-kawasan rawan pencemaran limbah ini. DLH Bintan akan berkoordinasi lagi ke DLHK Provinsi Kepri.
”Pemerintah pusat pun, kita harapkan ada koordinasi dengan instansi vertikal terkait, untuk penanggulangan pencemaran limbah di pantai Bintan ini. Pak Gubernur dan instansi vertikal sudah turun meninjau lokasi Lagoi,” ungkap Aprizal Bahar, Selasa (21/1). (aan/fre)