Catatan Politik
Sebuah majalah di Amerika Serikat dengan oplah 80 ribu membuat editorial yang terbilang tajam, berani terhadap proses Impeachment Presiden Trump.
Pergilah Trump kira kira pesan dari editorial majalah itu. Padahal majalah ini dikelola oleh kelompok agama. Namun mereka sudah bosan dengan gaya kepemimpinan Trump dan membuat editorial berani meminta presiden pergi dari Gedung Putih.
Editorial itu disambut gembira pelanggan mereka yang berjumlah 80 ribu orang. Selain situs daring pun sampai terganggu karena diserbu pembaca.
Proses panjang impeachment Trump ditentukan tahun depan. Republik sebagai partai pendukung Trump mengatakan tidak ada celah di Senat akan mendukung upaya Demokrat. Republik memiliki suara terbanyak di Senat akan berusaha meyakinkan Trump tidak bersalah dalam upaya meminta bantuan presiden Ukraina menyelidiki Joe Biden dan putranya.
Walaupun jejak pendapat yang dibuat Reuters, 44 persen setuju Trump dimakzulkan dan 41 persen tak setuju cara Demokrat melakukan impeachment.
Publik Amerika terbelah soal sikap mendukung dan pro kebijakan Demokrat melakukan impeachment. Selama ini, di bawah Trump pertumbuhan ekonomi AS mulai membaik. Lapangan pekerjaan tersedia di mana mana. Tapi kebijakan perang dagang dengan China menyebabkan negara lain agak was-was.
Namun bagi Partai Demokrat yang akan bertanding melawan Trump di 2020, jika Trump berhasil disingkirkan dari kursi presiden, maka peluang Demokrat memenangkan pertandingan bisa saja lebih besar. Kesalahan Trump dianggap menggunakan kekuasaannya menekan Ukraina, dan menahan bantuan hibah tak dapat dimaafkan.
Dilarang keras, pemegang kekuasaan memanfaatkan untuk menyelidiki lawan politik. Tentu hal ini agak berbeda dengan kita. Di mana ketika berada di puncak kekuasaan semua bisa diatur. Inilah kedewasaan Amerika yang sudah maju ratusan tahun dalam berdemokrasi dibanding kita yang baru 20 tahun berdemokrasi bebas sejak 1999. Di ujung 2019, nampaknya oligarki mulai terasa kental. Politik identitas, klientelisme, money politics menambah curam penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Bahkan pilkada 2020 kita akan melihat anak presiden, menantu presiden, anak wakil presiden ikut pilkada. Tapi belum tahu apakah dapat partai atau tidak. Harusnya dapat. Lalu apakah itu salah? Dalam demokrasi tidak salah. Apalagi sedang berkuasa. Memiliki materi, memiliki dukungan politik. Maka hanya pemilih yang bisa menentukan menang atau kalah. Tak heran jika Presiden Jokowi mengatakan, itu bukan politik dinasti. Karena Jokowi memang bukan berasal dari dinasti politik lama. Setali dengan Jokowi. Wapres Maruf Amin juga mengatakan putrinya mau ikut Pilkada bukan untuk politik dinasti. Ini kompetisi yang menentukan adalah pemilih.
Tapi dengan kekuasaan yang dimiliki, mustahil tangan tangan tak nampak itu diam. Mengapa misalnya ketika belum menjadi wapres, anaknya tidak ikut pilkada sebelumnya. Setelah ayahnya menjadi pemimpin di Indonesia, sang anak mau dicalonkan.
Hal yang sama juga terjadi di raja raja kecil lain di 270 daerah yang akan ikut pilkada. Sudahlah cukup politik dinasti di Banten saja yang sukses mengeruk kekayaan Banten dengan nilai fantastis. Hampir sebagian besar proyek pemerintah dikuasai jaringan kepala daerah atau yang berapiliasi dengan gubernur ketika itu.
Di era Yunani, Romawi, mereka yang berkuasa karena memiliki keahlian pikiran bagaimana mengelola masyarakat dan meyakinkan pemilih. Filsuf filsuf hebat itu menjadi pemimpin hebat ataupun menteri menteri di negeri para dewa.
Sementara ribuan tahun setelah masa Romawi, yang jadi pemimpin bukan pemikir. Tapi mereka yang punya modal walaupun tanpa punya pemikiran yang cemerlang. Dan di negeri mbahnya negara demokrasi, yang menjadi pemimpin mereka bukan politisi yang ideal seperti misalnya Jhon F Kennedy, tapi seorang pengusaha besar. Akibatnya beberapa kebijakan yang dibuat seperti perang dagang dengan China bukan hanya membuat warga Amerika resah, tapi dunia. Keresahan itu akan mencapai titik puncak di sidang Senat. Apakah Trump berhasil disingkirkan melalui dakwaan DPR atau masih bertahan melalui putusan Senat? (Robby Patria, mahasiswa program doktor UTHM, Malaysia)