“Kami Bukan Monyet, Harus Diusir dari Hutan“
Pemerintah Pusat menjadikan wilayah lima kecamatan di Kabupaten Bintan termasuk kawasan hutan lindung. Yusuf, salah satu warga Bintan yang sudah membayar pajak sejak tahun 1960 sebesar 4 dolar hingga membayar pajak sampai 2019. Tapi rumahnya dijadikan pemerintah Kawasan hutan lindung. Ribuan kepala keluarga (KK) dari lima kecamatan protes karena aset mereka seperti rumah dan tanah tidak dihargai bank dan sulit dijual karena berada di kawasan hutan lindung.
Patria, Bintan
Ikhsan bolak balik ke salah satu bank di Tanjungpinang untuk meminjam uang karena anaknya masuk kuliah di tahun 2020. Persiapan dilakukan dengan rencana mengagunkan lahannya di dekat Kecamatan Teluk Sebong seluas 2000 meter per segi untuk mendapatkan dana segar. Dana itu akan digunakan sebagai modal awal sekolah anaknya nanti. Setelah pihak bank memeriksa, betapa kagetnya dia, tanah sertifikat tahun 2000 itu ternyata tidak bisa dijadikan anggunan. Pasalnya lahan tersebut berada dalam patok kawasan hutan lindung. Akibatnya, Ikhsan tidak dapat meminjam uang di bank tersebut.
ia memutar otak untuk mencari cara agar bisa mendapatkan uang untuk modal kuliah anaknya. ”Padahal semua lengkap. Hanya tanah ketika bank tahu bermasalah, mereka tidak setuju dijadikan jaminan,” ujarnya kepada Tanjungpinang Pos, Senin (18/11) di kawasan Bintan Centre. Ikhsan bersama kawan-kawannya mendirikan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) yang dijadikan lembaga yang akan memperjuangkan aspirasi warga Bintan yang terkena dampak kebijakan pusat tersebut.
”Kami minta dicabut status lahan hutan lindung. Dan sertifikat dan alas hak warga Bintan dapat dipergunakan lagi. Kami dianggap apa sudah tinggal puluhan tahun di sini? Apa kami ini monyet? Seenaknya diusir dari hutan. Padahal puluhan tahun kami di sini sebelum ditetapkan kawasan hutan lindung,” kata Ikhsan kesal.
Ikhsan ditunjuk sebagai sekretaris Ampera yang diberi mandat berjuang hingga tuntas persoalan hutan lindung. ”Jika perjuangan berhasil, maka organisasi ini pun bubar,” ujarnya. Di dalam tas ransel yang dibawa Ikhsan sebagai sekretaris tim, penuh dengan dokumen dokumen bukti perjuangan. Tanjungpinang Pos juga melihat kwitansi warga yang bernama Yusuf salah satu warga di Kecamatan Teluk Bintan. Ia sudah membayar pajak sejak tahun 1960 dengan menggunakan dolar Singapura. Yusuf membayar 4 dolar 2 Sin, Singapura. Waktu itu, Teluk Sebong masih Keacamatan Bintan Utara. Sebelum pemekaran kecamatan seperti saat ini.
Setelah merdeka tahun 1945, kawasan Riau atau Kepulauan Riau saat itu masih menggunakan mata uang dolar sebagai alat transaksi warga. Karena dekat dengan Singapura.
Yang membayar pajak adalah kakek dari Yusuf yakni Padang bin Kumbang. Pembayaran dilakukan 25 Desember 1960. Kemudian Yusuf sebagai cucu dari Padang bin Kumbang membayar lagi pajak pada 25 Februari 2019 di kantor Bank Riau Kepri. Luas tanah Yusuf 10.000 meter per segi. Dan nilai pajak yang dibayar Rp55.078. Keseluruhan aset Yusuf itu dihargai oleh pemerintah senilai Rp55 juta rupiah. Lahan Yusuf sudah lama bersertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat itu.
Sedangkan menurut Urip Santoso, pengacara salah satu perumahan di Bintan mengakui kliennya sudah membayar pajak Rp98 juta kepada pemerintah. Namun ketika mau angkat kredit, agak sulit karena pihak warga yang akan mengambil perumahan tersebut tidak bersedia karena perumahan berada di kawasan hutan lindung. ”Inikan namanya tidak betul. Semua sudah disiapkan. Lahan bersertifikat. Tiba tiba tanpa kabar berita, langsung dijadikan hutan lindung. Ini ada yang gak benar,” ujar Urip.
Dia menyarankan agar dilakukan gugatan di Pengadilan soal ini. Banyak kasus yang sama seperti di Batam, pemerintah kalah dan mengembalikan lagi lahan warga yang sudah dijadikan hutan lindung. Bukan hanya klain Urip yang terganggu bisnisnya. Pengusaha pengembang di kecamatan lain juga kaget. Bahkan kantor Camat Telok Sebong pun disebut sebagai kawasan hutan lindung.
”Harusnya penetapan hutan lindung ada mekanisme yang harus dilalui mulai dari sosialisasi kepada RT RW hingga pihak kecamatan. Jika sudah semua lahan dibebaskan oleh pemerintah, baru ditetapkan. Kalau sekarang kan beda. Tanpa sosialisasi langsung ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 76 Tahun 2015. Kan kasihan warga yang sudah beranak pinak bahkan sudah punya sertifikat. Nilai ekonomi lahan mereka hilang,” ujar Urip.
Ketua Ampera Iman Ramlie mengaku heran dengan kebijakan pemerintah. Ada warga yang rumahnya dapur hutan lindung sementara di halaman depan rumah kawasan bebas hutan lindung. ”Inikan tidak benar. Sembarangan mematok tanpa ada sosialisasi. Bahkan warga yang sudah mendapatkan lahan dari zaman Soeharto karena ikut program transmigrasi harus kena imbas.
Mereka itu diberi lahan sama Presiden Soeharto untuk bertanam dan hidup dari pertanian. Tiba – tiba tanah mereka dirampas paksa karena dianggap di dalam kawasan hutan lindung,” kata Iman Ramli kesal kepada Tanjungpinang Pos, awal November 2019. Iman mengakui saat ini banyak pihak melobi dirinya agar jangan bergerak aktif soal lahan. Bahkan ada yang meragukan perjuangan mereka membebaskan lahan. ”Saya dan kawan kawan berniat baik. Kita berusaha maksimal agar lahan warga bisa dicabut status hutan lindung itu. Kalau ancaman ya, itu risiko perjuangan,” kata Iman.
Dari dokumen yang diperoleh Tanjungpinang Pos, sejumlah lahan yang diberikan kepada warga transmigrasi disertifikasi berdasarkan keputusan Atas Nama Menteri Dalam Negeri No Keputusan No.467/DJA/1988 yang diteken Direktur Jenderal Agraria, Sarwata.
Dalam keputusan itu berbunyi, pemerintah memberikan lahan sebanyak 428 hektar kepada 412 KK kepada warga transmigrasi untuk dipergunakan ketika mereka ditempatkan di Bintan dari Pulau Jawa. Kini mereka yang diberikan lahan tanah mereka dijadikan hutan lindung.
Selain Iman dan Ikhsan, ribuan warga lainnya yang bermukim di wilayah Desa Sebong Pereh, Sebong Lagoi dan Kuala Sempang resah, karena rumahnya diklaim berada di kawasan hutan lindung. Hal itu ketika ada pemasangan patok dan plang bertuliskan Hutan Lindung Pulau Bintan.
Bahkan sebagian besar pemukiman warga tersebut berstatus kepemilikan sertifikat hak milik oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pemasangan patok dan plang dilakukan terkesan tertutup dan sembunyi sembunyi. Andi, seorang warga Kampung Harapan 2 Desa Sebong Pereh mengatakan, dirinya melihat pemasangan plang dan patok hutan lindung di depan rumahnya. Namun petugas yang memasang tidak menjelaskan mengenai perihal pemasangan patok dan plang.
”Kami terkejut, mengapa dipasang plang dan patok hutan lindung? Padahal ini padat pemukiman, kemudian tak jauh dari sini ada perumnas juga, itu pun masuk juga hutan lindung,” keluhnya. Senada dengan Andi, Ferry warga lainnya juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, pemasangan patok dan plang tidak jelas. Dikatakannya, berbeda dengan plang Hutan Lindung Sei Jago yang jelas dan ada petanya, pemasangan plang dan patok hutan lindung pulau Bintan di wilayahnya tidak jelas.
”Ya itu tidak jelas, kalau kawasan kebun atau hutan sana ke arah Jago, oke lah. Masuk Hutan Lindung. Lah kami ini kok tiba-tiba jadi kawasan Hutan Lindung, ada apa ini kok aneh,” keluhnya, Rabu (2/10). Tidak hanya dia saja, Ferry menjelaskan ada ribuan warga yang mengeluhkan status Hutan Lindung yang tiba-tiba ada dan meluas.
”Setahu saya, di Bintan Hutan Lindung itu di Sei Jago, Gunung Bintan Besar dan Kecil, Sei Pulai, Gunung Lengkuas dan Galang Batang. Kalau di Sebong Pereh dan Sebong Lagoi serta Seri Kuala Lobam, tidak ada. Ini ada juga warga Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam,” sebutnya. Terpisah, Kepala Desa Sebong Lagoi Abu Bakar yang dikonfirmasi, membenarkan adanya wilayahnya masuk kawasan hutan. Namun ia belum mengetahui pasti mengenai Hutan Lindung yang dipasang patok dan plang.
”Ada dengar, tapi saya cek dulu ke lapangan, saya mau pastikan dulu,” sebutnya.
Kades Kuala Sempang, Mohammad Hatta membenarkan adanya pemasangan patok dan plang hutan lindung di sebagian wilayahnya. Namun ia menjelaskan itu merupakan program Tanah Objek Reforma Agraria (Tora) yang dilaksanakan tahun 2018.
Warga dari sejumlah desa dan kelurahan yang terkena imbas status hutan lindung ’siluman’, akan melakukan aksi penolakan kepada Pemerintah Provinsi Kepri. Aksi warga ini pun mendapat dukungan dari kalangan mahasiswa.
Jerry Sitompul mewakili warga mengatakan, pihaknya bersama warga beberapa desa dan kelurahan terus bergerak dan berdialog, untuk mencari solusi terkait ’musibah’ kebijakan yang menganiaya hak-hak warga Bintan ini.
”Mahasiswa juga sudah mendengar keluhan kami. Rencananya nanti, bersama mahasiswa kami akan menyampaikan aspirasi ke pemerintah provinsi,” sebutnya. Ia mengatakan, pihaknya juga sudah mengadukan kebijakan ini ke Ombudsman atas keluhan warga.
”Kami tidak akan berhenti di sini saja. Ada lagi masyarakat Desa Ekang Anculai dan Keluhan Kota Baru yang mengeluhkan kebijakan ini. Jadi, ini akan semakin banyak gerakan menolak hutan lindung siluman ini,” imbuhnya.
Suparno, seorang warga Desa Sebong Pereh menyampaikan, kondisi hutan lindung yang dadakan melanda Bintan tersebut, sangat aneh dan kuat dicurigai ada penyimpangan kebijajakan pihak terkait.
”Dulunya, ini RTRW 2014, hutan lindung itu ada di Sei Jago. Petanya jelas dipampang di jalan-jalan di Jago sana. Tapi ini kok melebar petanya hingga ke wilayah kami. Saya prediksi meluas 3 kali lipat dari hutan lindung Sei Jago,” sebut mantan anggota DPRD Bintan masa jabatan 2009-2014 ini.
Ia menyampaikan, kondisi status hutan lindung kini tidak hanya merugikan warga yang memiliki aset tanah. Tapi juga merugikan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Bayangkan saja, Air Molek itu ada Perumnas, di Simpang Sei Kecil arah Lagoi ada Perumnas.
”Pemukiman kami padat penduduk, bagaimana ceritanya? Sertifikat kami kini tidak bisa diagunkan, tidak bisa dipecah, tidak bisa dijual. Lantas kami harus bagaimana?” ucapnya dengan nada bertanya.
”Saat ini. kami sedang mengumpulkan ribuan masyarakat dan kami data per kelurahan/desa. Kami akan buat petisi dan kami rencanakan juga untuk aksi demo menggugat hutan lindung ini,” sebutnya.
Abu Bakar, Kepala Desa Sebong Lagoi, Kecamatan Teluk Sebong mengirim surat kepada Presiden Jokowi. Dalam suratnya, Abu Bakar mengatakan, mereka warga dari Desa Sebong Lagoi, Kecamatan Telok Sebong, Bintan, Provinsi Kepri.
”Bersama surat ini kami ingin melaporkan Kawasan Hutan melalui SK Kemenhut / LHK 76 Tahun 2015 pada wilayah tempat tinggal kami, di mana dengan Penetapan Kawasan Hutan tersebut telah munculnya keresahan di lingkungan tempat tinggal kami dan juga gejolak masyarakat dikarenakan terdampak pada menurun nya kondisi ekonomi masyarakat di wilayah kami,” tulis Abu Bakar.
Sebagai warga masyarakat Desa Sebong Lagoi, mereka sudah beranak cucu menempati wilayah tersebut.
”Kami merasa dirugikan atas penetapan Kawasan Hutan ini, karena kami tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan menjual lahan-lahan karena kepada pembeli saat kami membutuhkan dana keuangan untuk kebutuhan keluarga,” katanya.
Mewakili warganya, dia memohon dengan sangat agar kiranya Bapak Presiden dapat menolong mereka untuk keluar dari masalah ini dengan permohonan agar segera dapat dicabut penetapan Kawasan Hutan ini. ”Kami tidak tahu harus mengadukan masalah ini kepada siapa, karena kami hanya rakyat kecil untuk membela hak-hak kami, kami tidak memiliki daya dan upaya jika kami harus menempuh jalur PTUN. Karena kami masyarakat lemah yang tidak memiliki dana untuk mengurus hal tersebut,” tulis Abu Bakar.
Dalam suratnya, Abu Bakar menulis warga memandang perlu untuk mengadukan hal itu dikarenakan telah bertahun-tahun hidup dalam kebingungan atas kondisi mereka alami. ”Hanya Bapak Presiden saja yang dapat kami harapkan untuk mengabul kan permohonan kami ini. Dalam surat ini kami lampirkan tanda tangan penolakan warga masyarakat atas Penetapan Kawasan Hutan ini, sebagai bukti bahwa apa yang kami adukan adalah kebenaran semata,” tulis Abu Bakar dalam suratnya untuk Presiden Joko Widodo pada bulan Agustus 2019.
Henny Utami, Camat Teluk Sebong yang dikonfirmasi mengenai keresahan warganya terkait hutan lindung di pemukiman, tidak kaget dengan kabar tersebut. Ia bahkan menyebut kantor kecamatan yang ia pimpin, juga masuk ke dalam kawasan hutan lindung.
”Kantor kami juga jadi HL. Masalah ini sudah kami rapatkan ke Setwan Bintan. Namun dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) belum ada jawaban,” katanya. Ia menambahkan, pihaknya dalam waktu segera, akan melakukan rapat kembali dengan Dinas Kehutanan Kepri, untuk melakukan klarifikasi mengenai kawasan hutan lindung.
”Ada program TORA, tapi yang diakomodir hanya 10 persen. Itu yang saya dapat infonya,” tambahnya. Dari beberapa informasi, permasalahan mengenai status kawasan hutan tidak hanya terjadi di Teluk Sebong dan Seri Kuala Lobam. Tetapi, sudah sampai ke wilayah Toapaya dan beberapa wilayah lain di Bintan.
Seksi Badan Pemantauan Kawasan Hutan (BPKH), Budi Setiawan menjelaskan dasar pihaknya melaksanakan pematokan lahan di kawasan hutan sesuai Perpres nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaiaan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
Diakuinya sosialisasi di masyarakat sebelum kegiatan pematokan lahan kawasan hutan terbatas. Namun, ia sudah menyampaikan mulai di tingkat provinsi dan kabupaten kota.
Hutan lindung dan pejabat masuk penjara
Pulau Bintan terbentang di seberang Singapura dan Johor Baru, Malaysia. Letak geografis Pulau Bintan berada di antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Karimata. Pulau ini melebar dari Malaka ke Laut Cina Selatan dan posisinya sangat strategis terletak di Semenanjung Selatan Malaysia dan menjadi pintu gerbang Selat Malaka. Pulau Bintan terbagi menjadi 2 wilayah administrasi, yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan.
Pulau Bintan juga mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat besar, seperti tambang bauksit, perikanan darat maupun laut, rumput laut, terumbu karang, hutan (hutan mangrove dan hutan produksi) dan eksotisme panorama alam yang masih asri dan alami. Keunggulan komparatif ini menjadikan ekonomi utama Pulau Bintan adalah perdagangan antar pulau, pariwisata, pertambangan, perikanan dan kelautan. Dengan letak geografis yang strategis ini dan didukung potensi alam yang sangat besar, Pulau Bintan dimungkinkan untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia di masa depan.
Aktivitas ekonomi pembangunan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung wilayah di Pulau Bintan pada masa akan datang yang sulit untuk dihindari. Hal ini didukung dengan laju angka pertumbuhan penduduk Pulau Bintan rata-rata 4,5 % tahun. Jumlah penduduk Pulau Bintan pada tahun 2009 adalah 359.783 jiwa gabungan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan. (BPS KEPRI, 2010) sehingga pada tahun 2033 jumlah penduduk Pulau Bintan diperkirakan mencapai 1.012.429 jiwa.
Jumlah penduduk yang bertambah cukup tajam ini meningkatkan kebutuhan akan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini memicu alih fungsi lahan pada kawasan lindung menjadi lahan produksi secara besar-besaran.
Menurut Agus Bambang Irawan dari Fakultas Teknik UPN, dalam kajian yang pernah dilakukan di Pulau Bintan diterbitkan Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan (2016), kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Muta‟ali, 2003). Kasus alih fungsi lahan terjadi pada perubahan kawasan hutan lindung bagi pembangunan Bandar Sri Bintan dan pengembangan kawasan wisata terpadu Lagoi di Pulau Bintan.
Alih fungsi lahan ini berdampak pada penurunan fungsi beberapa jenis ekosistem seperti hutan lindung, mangrove, pantai, daerah aliran sungai dan terumbu karang. Fenomena ini selanjutnya akan menimbulkan degradasi lingkungan, bencana alam (banjir dan kekeringan) serta konflik sosial yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di Pulau Bintan.
Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan pada awalnya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan mangrove dan hutan konversi dengan luas total 109.701 ha Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan banyak mengalami perubahan. SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992 merubah fungsi hutan produksi seluas 12.950 ha dan hutan konversi seluas 21.750 ha yang terletak di kelompok hutan Sei Jago, Sungai Ekang, Sungai Anculai, Sungai Bintan, Sungai
Kangboi dan Sungai Kawal Pulau Bintan menjadi kawasan hutan lindung yang selanjutnya dikenal dengan nama kawasan Catchment Area. Tipe kawasan hutan yang ada di Pulau Bintan saat ini dapat dikelompokkan menjadi Hutan Lindung (4.355 ha), Catchment Area (37.000 ha), Hutan Produksi Terbatas (21.250 ha), Hutan konversi (40.250 ha), Hutan Mangrove (9.146 ha), dengan total jumlah 112.001 ha (RPJP KEPRI, 2006).
Daerah Pulau Bintan mempunyai bahan galian utama bauksit, dan selain bahan galian utama terdapat pula bahan galian lain, baik yang telah ditambang/diusahakan maupun yang belum ditambang. Bahan galian tersebut di antaranya andesit, granit, pasir darat dan lempung. Nilai potensi bahan galian di Pulau Bintan adalah bauksit sebesar 15.000.000 ton, granit 681,8 ha dan pasir darat 574,96 ha.
Fungsi utama hutan lindung adalah penyuplai air secara merata di wilayah Pulau Bintan. Keberadaan hutan lindung ini harus tetap terjaga kelestariannya sepanjang masa dan tidak boleh dikonversi untuk peruntukan lain. Hutan lindung yang masih dalam kondisi baik adalah Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil dan Gunung Bintan Besar serta Bukit Kucing. Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil dan Gunung Bintan Besar berfungsi sebagai hutan penyangga Catchmet Area Pulau Bintan, sedangkan Hutan Lindung Bukit Kucing berperan untuk melindungi sumber air kebutuhan PLN, dan Taman Wisata Kota Tanjung Pinang.
Agus Bambang mencatat, hutan lindung yang sudah mulai rusak adalah Hutan Lindung Sungai Pulai, Hutan Lindung Bukit Lengkuas, Hutan Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sei Jago. Hutan Lindung Sungai Pulai memiliki permasalahan berupa pemanfaatan lahan untuk perkebunan sawit, kebun karet rakyat, permukiman dalam kawasan yaitu Kampung Suka Damai, Tirto Mulyo, Pondok Pesantren, dan akses jalan yang tinggi.
Sedangkan Hutan lindung Gunung Kijang memiliki permasalahan berupa adanya perkampungan, industri granit, akses jalan yang tinggi, illegal logging. Hutan Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sungai Lengkuas dapat diperkirakan separo luas arealnya telah terambah. Berdasarkan kondisi hutan lindung Pulau Bintan di atas, maka secara umum kondisi hutan lindung berada dalam kondisi sedang. Ini artinya hutan lindung masih bisa menampung aktivitas pembangunan di Pulau Bintan, meskipun sebagian hutan telah rusak.
Bintan ditetapkan Menteri Kehutanan menjadi bagian dari 37 ribu hektare hutan lindung di Pulau Bintan pada Oktober 1992. Riwayat simpang-siur hutan lindung di Kabupaten Bintan sebenarnya dimulai pada 1989. Saat itu, sejalan dengan semangat pembangunan kawasan segi tiga Johor (Malaysia), Singapura, dan Riau (Indonesia), Presiden Soeharto menandatangani sebuah perjanjian kerja sama dengan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew.
Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Singapura akan membantu pengembangan kawasan wisata dan industri terpadu di Pulau Bintan-saat itu masih bagian dari Provinsi Riau. Sebagai imbalannya, Indonesia akan memasok air bersih melalui pipa bawah laut ke negeri jiran.
Guna menjamin persediaan air tanah, pemerintah membutuhkan kawasan penyangga berupa daerah tangkapan air yang lumayan luas. Keluarlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 955/Kpts-I1/1992. Isinya: seluruh hutan produksi terbatas (sekitar 13 ribu hektare) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (sekitar 22 ribu hektare) di Pulau Bintan berubah status menjadi hutan lindung.
Rata-rata kawasan hutan lindung baru itu memang berlokasi di daerah aliran sungai, seperti di sekitar Sungai Jago, Sungai Ekang, Sei Anculai, Sei Bintan, Sungai Kaboi, dan Sungai Kawal. Lewat tanda tangan Menteri Kehutanan ketika itu, Hasjrul Harahap, luas hutan lindung di
Pulau Bintan pun melonjak drastis, dari semula hanya 2.300 hektare menjadi 37 ribu hektare. Pulau Bintan pun melonjak drastis, dari semula hanya 2.300 hektare menjadi 37 ribu hektare.
Anggota DPRD Kabupaten Bintan Fiven Sumanti mengatakan, pihaknya masih melakukan upaya pendataan siapa saja yang terkena dampak kebijakan pusat menetapkan kembali rumah warga yang sudah bayar pajak dan bersertifikat menjadi hutan lindung.
”Nanti akan kita dorong dibebaskan dari hutan lindung rumah warga itu. Tapi memang harus bersabar,” ujar politisi Golkar itu. Ketua Komisi II DPRD Bintan itu dari daerah pemilihan yang warganya banyak menjadi korban hutan lindung. Fiven mengatakan, DPRD Bintan sudah menemui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI, 14 Oktober lalu. Dari penjelasan Kementerian Kehutanan dan LH, tahun 1986, seluruh Kabupaten Bintan merupakan kawasan hutan lindung, sesuai dengan PP/1986. Itu merupakan kebijakan pemerintah terdahulu.
Pemerintah daerah sudah memperjuangkan untuk pembebasan hutan itu. Pemerintah pusat, sudah melepaskan kawasan hutan lindung, yang dituangkan dalam PP Nomor 76/2015. Namun, saat ini masih terdapat kawasan hutan lindung di beberapa wilayah. Termasuk tanah masyarakat di Teluk Sebong, yang menjadi polemik, pada saat ini. ”Dan kasus ini yang harus kita perjuangkan lagi ke pusat. Tapi tak bisa dengan cepat. Memerlukan waktu untuk membebaskannya,” katanya.
Komisi II bidang Kehutanan DPRD Bintan mengharapkan agar Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kepri, menyampaikan keluhan warga soal hutan lindung, ke pemerintah pusat. Sehingga, ada kebijakan baru untuk pembebasan kawasan hutan di Bintan.
Soal pembebasan hutan lindung di Bintan pernah mengalami sejarah kelam. Maklum Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Azirwan masuk penjara. Ia divonis bersalah karena menyuap anggota DPR RI M Amin Nasution dalam rangka mendorong Kementerian Kehutanan untuk membebaskan 8.000 meter per segi hutan lindung Bintan untuk pembangunan ibukota Bintan yang saat ini megah berdiri.
Ada indikasi, pemerintah menetapkan kawasan hutan lindung pada 2015 karena untuk sebagai hutan pengganti dari daerah lain. Karena hutan di daerah lainnya dibebaskan lalu dilakukan penambangan di sana. Karena beberapa kawasan hotel di Bintan dan kawasan wisata di Bintan yang dekat dengan perumahan warga bebas dari kawasan hutan lindung.
Misalnya Villa the Bintan. Villa itu berada tak begitu jauh dari Gunung Bintan bebas di kawasan hutan lindung. Sedangkan warga di sekitar kawasan tersebut dijadikan hutan lindung. Bahkan di dalam hutan lindung tersebut ada papan nama perusahaan tambang dari Karimun. Warga bertanya tanya, mengapa sampai ada perusahaan tambang di Karimun yang papan namanya sampai di Pulau Bintan.
Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Lis Darmansyah sudah mendengar keluhan warga Bintan. Dia berharap untuk menyelesaikan kasus ini, maka harus dilakukan pendataan yang baik soal siapa saja yang kena hutan lindung. Misalnya berapa KK warga yang sudah punya sertifikat hak milik yang terdapak? Kemudian berapa banyak lahan punya alas hak yang kena status hutan lindung? Dan sisanya apakah sengaja membangun di dalam kawasan atau tidak. Dan apakah mereka mendapatkan izin untuk tinggal di dalam kawasan tersebut.
”Jika sudah semua terdata, maka kita secara detil akan bisa memilih. Harus cari win win solution atas kasus ini,” ujar politisi PDIP ini. Dia mengakui, kasus hutan lindung di Bintan perkara lama yang saat ini muncul lagi ke permukaan.
Yang penting, ujarnya, Pemerintah Kabupaten Bintan tidak boleh tinggal diam. Mereka harus melakukan pendataan penduduk yang mengalami masalah. Dan sekaligus melakukan inventarisir rumah rumah warga dan mencari asal usul kepemilikan lahan. ”Ini harus kerja tim untuk menyelesaikannya dan mencegah jangan sampai terjadi lagi,” kata mantan Walikota Tanjungpinang.
Bupati Bintan, Apri Sujadi kecewa dengan langkah Pemerintah Provinsi yang memasang patok hutan lindung di kawasan pemukiman masyarakat Bintan yang tidak melalui sosialisasi ke Pemerintah Kabupaten Bintan. ”SK 76/2015 membuat masalah kita semua. Kenapa baru sekarang dilakukan pematokan hutan lindung di kawasan pemukiman. Harusnya harus ada koordinasi. Kita di kabupaten minimal mengetahui kegiatan pemerintah provinsi. Kalau langsung main patok, kita bingung semua,” ujar Ketua Partai Demokrat Provinsi Kepulauan Riau itu.
Apri mengakui, pihaknya sejauh ini baru bisa membebaskan kawasan hutan lindung ada di Kabupaten Bintan kurang lebih 800 hektare. Dan ini akan kita perjuagkan lagi. ”Aspirasi warga kita perjuangkan ke provinsi,” ujarnya.
Tokoh masyarakat Kepulauan Riau Huzrin Hood setuju dengan masyarakat Bintan yang menolak perumahan mereka dijadikan hutan lindung. Huzrin juga dianggap Sultan Bentan berharap pemerintah membatalkan rencana tersebut. ”Janganlah rumah warga yang punya sertifikat dijadikan Kawasan hutan lindung. Itu tidak boleh,” kata Huzrin yang juga mantan Bupati Bintan yang dulunya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Huzrin hampir dua tahun menjadi bupati. Kasus ini harus dibawa ke DPR RI agar bisa diselesaikan cepat. ”Dibawa ke komisi terkait soal kehutanan agar cepat dibahas,” kata Huzrin.
Dukungan Huzrin agar pemerintah pusat mencabut status hutan lindung itu dia berikan dalam bentuk surat kepada Ketua Ampera Iman Ramlie. ”Tok Huzrin mendukung kita,” ujar Iman yakin. Memang ada beberapa warga Bintan yang mencari dukungan kepada calon gubernur lainnya. Karena tahun depan kita akan pilkada. ”Tapi kita tak mau Ampera menjadi komoditi politik. Yang penting kita berjuang maksimal atas dukungan warga,” kata Iman.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Kehutanan Provinsi Kepri Nelwan mengungkapkan memang ada utusan warga Bintan yang mempertanyakan permasalahkan hutan lindung di Bintan.
Memang, kata Nelwan, ada pihak yang melakukan pemasangan plang di pemukiman padat penduduk Bintan yaitu Desa Sebong Pereh dan Sebong Lagoi di Kecamatan Teluk Sebong, Desa Kuala Sempang di Kecamatan Seri Kuala Lobam. Padahal mereka sudah memiliki sertifikat resmi dari pemerintah melalui BPN. Tapi, lahan mereka tetap dijadikan hutan lindung.
”Sertifikat di atas hutan lindung berdasarkan aturan memang tidak boleh karena dasarnya adalah hutan lindung. Tapi kasus di Bintan ini kemungkinan pada saat itu karena ada kesalahan komunikasi antara pihak BPN. Hingga akhirnya timbul masalah sekarang ini,” kata Nelwan di kantornya di Dompak, Kota Tanjungpinang.
Apalagi, jelas Nelwan, warga di sana sudah lama bercocok tanam di lahan tersebut. Saat ini puluhan warga yang sudah menandatangani pernyataan keberatan lahannya masuk di kawasan hutan lindung.
”Upaya kita dari Dinas Kehutanan Provinsi sedang melakukan usaha salah satunya melalui program Tora. Dengan membebaskan lahan untuk digunakan warga. Presiden memang mengggiatkan program Tora itu untuk mengatasi masalah serifikat yang muncul di hutan lindung. Saat ini kita ikuti saja prosedur,” ujarnya.
LSM Alim yang fokus pada isu lingkungan kaget mendengar banyaknya lahan warga yang berubah menjadu hutan lindung. Ketua LSM Alim Kepulauan Riau Kherjuli menyarankan warga menggugat ke Pengadilan atas kasus ini. ”Biasanya warga akan menang jika sertifikat mereka lebih dahulu ada dibandingkan dengan keluarnya keputusan menjadikan hutan di Bintan sebagai kawasan hutan lindung,” ujarnya.
Menurut Kherjuli, kasus di Kepri saat ini banyak hutan lindung berubah fungsi bisa saja diduga ada kebijakan tertentu. Padahal 1400 tahun lalu, Alquran sudah mengingatkan kerusakan di muka bumi ini karena tangan tangan manusia.
“Memang terjadi paradoks. Di satu sisi negara ingin pertumbuhan ekonomi tinggi. Tentu akan mengorbankan lahan lahan hutan untuk kawasan baru seperti tambang, dan industri maupun perumahan. Sementara di satu sisi, bumi perlu kita jaga supaya keperluan air bersih, dan ekosistem terjaga untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan mahluk lainnya. Ini yang harus kita jaga sama sama. Jangan hanya kepentingan bisnis, hutan hutan dialihfungsikan,” kata dia.
Dia mengatakan, banyak Dam Dam di Kepri yang kering sehingga di Batam, dan Bintan akan mengalami krisis air bersih.
”Ke depan hal ini jika tidak dicarikan solusi akan berbahaya. Kita akan kekeringan air. Maka konsep pembangunan menjaga lingkungan itu harus diutamakan,” ujar Kherjuli. (may, windi, fitri)