TANJUNGPINANG – Kuliah sambil berwiraswasta ditekuni Dodi Irawan alias Dodi Igor. Meski bukan Melayu, namun dia juga melestarikan budaya Melayu.
Dodi aktif sebagai mahasiswa di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Raja Haji Tanjungpinang dan sebagai pelaku usaha kreatif di bidang budaya.
Dodi yang asli Betawi ini bersama rekan-rekannya, kagum dengan budaya Melayu Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Melalui Tanjak, tentunya turut melestarikan dan melambungkan budaya Melayu Kepri.
Tanjak adalah kain yang melilit dikenakan di kepala yang menjadi ciri khas kaum adam di daratan Melayu.
Menurut Dodi Igor, ada sesuatu yang istimewa dari budaya Melayu terutama kaum adam yang memakai Tanjak.
”Lelaki yang memakai Tanjak akan memiliki aura yang berbeda. Hal ini lah yang membuatnya tertarik, dan termotivasi untuk membuka usaha kreatif budaya Melayu yakni Rumah Tanjak pada tahun 2013,” ujar Dodi, Senin (18/11).
Dodi dan kawan-kawan, awalnya hanya membuat Tanjak sesuai dengan pesanan. Namun, pada tahun 2017 ia mulai nekat membuka toko di Jalan Engku Putri.
Karena menurutnya, ia harus mempunyai stok agar usahanya semakin berkembang.
Selain ketertarikannya pada Tanjak, alasan ia mendirikan Rumah Tanjak adalah karena ia ingin Tanjak dikenal banyak orang seperti halnya orang mengenal Blangkon dan Udeng.
Salah satu usahanya dalam melestarikan Tanjak, yaitu dengan melakukan pelatihan membuat Tanjak di berbagai kalangan, mulai dari anak sekolah, mahasiswa hingga perkumpulan ibu-ibu.
Tak jarang Dodi memberikan pelatihan secara sukarela, bahkan ia rela tak dibayar dan menggunakan dana pribadi untuk dapat memberikan pelatihan di pulau-pulau.
Dodi mematok harga Tanjak yang dibuatnya mulai dari Rp75 ribu hingga Rp200 ribu.
”Kalau bisa, saya ingin lebih rendah lagi harganya,” singkatnya.
Sebab ia ingin semua kalangan memiliki Tanjak tanpa harus terkendala dengan biaya.
”Karena begini. Ketika kita lihat Blangkon, kita lihat Udeng disana tuh harganya cuma Rp25 ribu dan paling mahal Rp30 ribu. Sementara, Tanjak yang dijual selain di Rumah Tanjak miliknya harganya bisa sampai Rp150 ribu,” sambung Dodi yang kuliah di Prodi Sosiologi.
Dodi berkisah, awalnya hanya bermodalkan Rp3 juta rupiah. Kini ia bisa menghasilkan hingga puluhan juta rupiah per tahun, bahkan saat ada kegiatan bazar ia berhasil mengumpulkan belasan juta rupiah dalam jangka waktu dua minggu.
Mengenai produksi Tanjak, Dodi sendiri yang turun tangan dalam pembuatannya.
Mulai dari pemilihan bahan, menjahit, menyetrika, hingga melipat ia lakukan sendiri. Tetapi terkadang, ia juga dibantu oleh sang istri dalam keseharian dan dapat menghasilkan produksi hingga 20 Tanjak.
Dodi berharap, Tanjak semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat. Ia juga berkeinginan, ke depannya memiliki sebuah rumah seni yang di dalamnya mencakup produksi, penjualan dan semua yang berkenaan dengan Tanjak. Hal ini pula yang mendasari terciptanya nama Rumah Tanjak. (Alvi dan Debra)