Tak Berkategori  

Pertambangan atau Pembangunan Berkelanjutan

oleh: Bely Putra Handaresta
Mahasiswa Stisipol Raja Haji Fisabilillah

Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sama kayanya. Harta ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, seharusnya Indonesia tidak memiliki kesulitan untuk menggarap dan mengolah semua yang dimiliki dalam usaha meningkatkan kualitas hidup nasional.

Di antara semua kekayaan alam yang tersedia, kekayaan yang paling menjanjikan untuk dikelola berada di sektor pertambangan mengingat kita hanya perlu mengambil harta yang ada dari dalam Bumi, menyerap begitu banyak tenaga kerja, menggairahkan begitu banyak sektor pendukung, dan nilai jual produk yang diambil begitu bernilai. Indonesia kaya akan wilayah tambang, meliputi : tambang batu bara di Pulau Kalimantan, tambang pasir di Kepulauan Bangka Belitung, tambang minyak dan gas alam, tambang emas di Papua, tambang batu, tambang aspal, dan tambang mineral lainnya. Pantas jika tambang kita jadikan sumber daya alam utama di Indonesia.

Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Di satu sisi ia menyediakan sumber energi dan materi penting yang menjadikan kemajuan umat manusia menjadi mungkin. Hasil tambang dan turunannya terdapat pada semua produk yang dimanfaatkan manusia modern. Di sisi lain, pertambangan juga dikenal sebagai sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang. Adanya perdebatan wacana penghentian total pertambangan di dunia melihat dampak kerusakan lingkungan atau mendorong pertambangan yang berkelanjutan ramah lingkungan. Karena hasil tambang tetap dibutuhkan dunia, berkembang konsep pertambangan berkelanjutan dengan berbagai persyaratan dan indikatornya, seperti efisiensi ekonomi, dampak sosial masyarakat dan lingkungan.

Lantaran sifatnya yang kerap ditemukan di lokasi-lokasi terpencil, pertambangan banyak dilakukan di kawasan yang sensitif secara ekologi; selain juga bersisian, bersinggungan, atau bahkan berada di dalam kawasan yang dihuni oleh masyarakat-masyarakat tradisional. Apabila dikelola dengan benar, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bisa diminimalkan, selain juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang positif seperti peluang bisnis, peluang kerja, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendapatan daerah dan nasional, dan kemajuan-kemajuan lain yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Di sisi lain, pengelolaan yang buruk menghasilkan kerusakan lingkungan yang parah. Lubang-lubang bekas tambang dengan air asamnya merupakan gambaran yang bisa dilihat di seluruh bagian dunia. Penggusuran penduduk secara paksa, serta konflik dengan masyarakat adalah dampak pertambangan yang banyak dilaporkan. Demikian juga, kekayaan dari pertambangan yang seharusnya bisa dinikmati oleh negara dan warganya banyak yang hilang lantaran korupsi. Sayangnya, harus diakui bahwa kinerja buruk pertambangan dalam pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi masih sangat banyak terjadi, kalau bukan malah merupakan gambaran dominan. Karenanya, secara umum pertambangan memang dikenal sebagai sektor yang tidak baik.

Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat teror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional. “Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda”.

Masyarakat membenci dunia pertambangan, bagi mereka kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas kesehatan penduduk di sekitarnya. Hal ini memang benar, tetapi tidak semua perusahaan melakukannya. Perusahaan yang baik akan memperbaiki kondisi lingkungan pertambangan mereka dan memikirkan bagaimana mereka harus membuang limbah. Ketika mereka hengkang, kawasan yang mereka tinggalkan menjadi hijau dan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.

Landasan hukum pengelolaan pertambangan sejatinya mengacu pada ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945. Ayat 1 mengatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ayat 2 mengatakan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Ayat pamungkas dari pasal tersebut adalah pada ayat 3, yang menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ayat 4 yang terakhir, menegaskan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam alam raya Indonesia, pengelolaannya diberikan kepada negara, dengan sebuah konsep penyelenggaraan yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, sehingga bermuara pada upaya untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan rakyat. Adapun penjelasan lebih detail terkait dengan frasa dikuasai oleh negara, penting untuk diuraikan di sini mengingat sering menjadi buah bibir di dalam masyarakat, dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUUV/2007.

Para pemangku kebijakan pertambangan di Indonesia rupanya alpa terhadap isu strategis reklamasi dan pascatambang. Padahal sesungguhnya isu tersebut menjadi urgen mengingat akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang berjudul “Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang: Laporan Penghancuran Sekujur Tubuh Pulau Kecil Indonesia oleh Tambang Mineral dan Batubara, menunjukkan sisi lain kegiatan “eksplorasi dan eksploitasi” pertambangan. Tampak visual dengan narasi laporan yang dikeluarkan oleh JATAM tersebut, memperlihatkan suatu aktivitas pertambangan yang paradoks.

Pasal 1 ayat (1) UU Minerba menyebutkan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU Minerba mengatakan bahwa “Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang”. Yang artinya Ketentuan ini menegaskan rangkaian tersebut mesti dilakukan secara utuh hingga pada aktivitas pascatambang.

Pascatambang dalam UU Minerba disebutkan bahwa kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Ketentuan ini mengemukakan bahwa kegiatan pascatambang telah ada terlebih dahulu saat aktivitas pertambangan mulai berlangsung. Sehingga kegiatan pascatambang benar-benar dapat memulihkan fungsi alam dan sosial di wilayah pertambangan tersebut terjadi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan pascatambang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang. Pada prinsipnya kegiatan pascatambang yang terpenting adalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi: perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan tersebut sangat penting dan mendesak perlu mendapatkan perhatian khusus agar dipatuhi dan diimplementasikan oleh para perusahaan tambang di Indonesia. Sebab perihal tersebut berdampak langsung kepada masyarakat. Aktivitas pertambangan sejauh ini banyak mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar area tambang. Kenyatan ini sungguh sangat ironis.

Dengan demikian, sesungguhnya aspek lingkungan jelas menjadi bagian sangat penting dalam konsep keberlanjutan pertambangan, yaitu dengan memastikan terjaganya integritas (daya dukung dan daya tampung) lingkungan. Ketika berbicara tentang masyarakat, pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pertambangan yang berkelanjutan adalah pertambangan yang minimal memertahankan kesejahteraan masyarakat, kalau bukan malah yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kondisi ekonomi masyarakatnya harus meningkat, dan aktivitas tradisional masyarakat bisa terus terjaga. Tetapi, hal itu adalah aspirasi di tingkat yang abstraksinya sangat tinggi. Prinsip dan pertanyaan panduan tentu masih sangat jauh dari strategi, program, eskekusi, dan kinerja. Bagian kedua dari seri tulisan ini akan menunjukkan tentang bagaimana tafsir yang lebih mutakhir atas pertambangan berkelanjutan, dan bagaimana isu kesejahteraan masyarakat ditempatkan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *