Dirjend Pendidikan Islam Kemenag Bina Dosen STAIN-SAR
Sejumlah dosen di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Sultan Abdurrahman (STAIN-SAR) Kepulauan Riau (Kepri), mengikuti pembinaan peningkatan standar mutu Sumber Daya Manusia (SDM).
BINTAN – Pembinaan itu dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemnterian Agama (Kemenag) RI.
Panitia mendatangkan narasumber dari kementerian, yakni Kasubdit Pengembangan Akademik Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) Dr. Mamat Salamet Burhanudin, M.Ag.
Kegiatan itu dibuka langsung oleh Ketua Kampus STAIN-SAR Kepri Dr. Muhammad Faisal, M.Ag, Jumat (18/10) di Kampus STAIN-SAR Kepri Jalan Lintas Barat KM 19 Toapaya, Kabupaten Bintan.
Pada kesempatan itu, Dr. Muhammad Faisal lebih dulu mengenalkan kampus STAIN-SAR secara umum.
Pengenalan itu dimulai dari fasilitas pendidikan, mahasiswa-mahasiswi, program studi hingga pada fasilitas pendidikan yang ada di Kampus STAIN-SAR Kepri.
Ke depan, STAIN-SAR Kepri akan meningkat statusnya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Kegiatan itu mengangkat tema, ‘Upaya Peningkatan dan Pengembangan Standar Mutu Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Standar Perencanaan Pembelajaran sebagai Penguatan Indikator Kinerja Utama dan Indikator Kinerja Tambahan’.
Namun, pada kesempatan itu Dr. Muhammad Faisal menyebutkan segala sesuatunya sedang dalam proses.
Kasubdit Pengembangan Akademik Direktorat PTKIN Dr. Mamat Salamet Burhanudin, M.Ag ketika mengisi materi pembinaan terhadap dosen STAIN-SAR Kepri berkata, bahwa Kampus STAIN-SAR yang berada di Kepri memiliki banyak potensi yang harus terus dimunculkan.
Selain itu, Dr. Mamat juga merasa optimis dengan kampus STAIN-SAR Kepri karena kedepannya akan semakin maju.
Walau Kampus STAIN-SAR Kepri terbilang baru, namun bisa saja mengejar Kampus STAIN-SAR lainnya yang lebih dulu berdiri.
”Karena keuntungan geografis, kultur, budaya Melayu tentunya ini merupakan modal untuk mengembangkan pusat kajian Islam ke depannya. Seperti kita ketahui, Melayu itu adalah Islam. Bahkan, ajaran Islam yang masuk ke Jawa melalui kekuatan tradisi budaya Melayu. Ini yang harus menjadi ikon, dan terus disandingkan dengan pengembangan akademik kampus STAIN-SAR Kepri,” sebut Dr. Mamat.
Ia menambahkan, Melayu adalah pusat keislaman nusantara dan bahkan Melayu adalah guru Islam.
Untuk itu, lanjut Dr. Mamata, mulai dari STAIN, IAIN bahkan UIN tidak boleh lepas dari kajian dan pengembangan keilmuan tentang Islam yang berbasis kebutuhan lokal.
Terlebih, masing-masing lokasi kampus mulai STAIN-IAIN bahkan UIN tentunya memiliki karakteristik budaya yang berbeda. Menurutnya, hal itu merupakan potensi kekuatan untuk pengembangan kampus untuk ke depannya.
”Doktrin Islam tidak boleh lepas dan harus terus dikembangkan. Seperti di Kampus STAIN-SAR Kepri, agar terus mengembangkan kurikulum keislamannya. Namun, tidak berada jauh dari dari konteks nuansa lokalnya. Saya menekankan, pengembangan itu harus berbasis kebutuhan lokal, yang sesuai panduan pengembangan kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-DIKTI),” jelas Dr. Mamat.
Di samping itu, Dr Mamat juga menjabarkan kerangka pengembangan akademik keislaman PTKIN.
Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam telah rampung tersusun, dan buku panduan itu berisi tentang berbagai ketentuan penyusunan kurikulum yang dapat dijadikan pedoman dalam rangka menyusun kurikulum program studi di lingkungan PTKI di bawah naungan Kementerian Agama RI.
Adapun tahapan penyusunan kurikulum yang dimaksud, mulai dari tahapan merancang kurikulum, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran serta penetapan kelulusan dengan memperhatikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Sebab, posisi KKNI menjadi penting seiring dengan perkembangan teknologi dan pergerakan manusia.
Kesepakatan pasar bebas di wilayah Asia Tenggara, telah memungkinkan pergerakan tenaga kerja lintas negara.
Karenanya, penyetaraan capaian pembelajaran di antara negara anggota ASEAN menjadi sangat penting. Selain itu, revolusi industri 4.0 merupakan tantangan bagi perguruan tinggi.
Lulusan perguruan tinggi diharapkan memiliki kesiapan untuk menghadapi era dimana teknologi dan kecerdasan artifisial dapat menggantikan peran-peran manusia.
Di sisi lain, perubahan Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri di berbagai tempat, menyisakan tugas perguruan tinggi keagamaan Islam untuk menyelesaikan konsep dan penerapan integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan. (ADLY ‘BARA’ HANANI)