Tak Berkategori  

Meski Mahal, yang Penting Nyaman-Praktis

Move on di negeri penghasil migas laut natuna utara

Harga gas melon 3 Kg di Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Rp35 ribu melampaui batas ditetapkan yakni Rp18 ribu hingga Rp20 per/Kg untuk di Tanjungpinang dan Bintan.

PatriaTambelan, Kabupaten Bintan

Begitu juga di daerah penghasil minyak dan gas salah satu terbesar di Indonesia seperti di Kabupaten Anambas dan Natuna. Harga tinggi walaupun gas yang dijual itu berasal dari perut bumi di Kepulauan Riau. Walau harga gas selangit, masyarakat Tambelan dan Kabupaten Natuna, Anambas sukses pindah dari minyak tanah ke gas. Move on dari kebiasaan menggunakan minyak tanah ke gas karena lebih efisien dan mudah.

Linda (55), warga Kelurahan Teluk Sekuni, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, sudah memindahkan bahan bakar dari biasa menggunakan minyak tanah ke gas. Sudah lebih tujuh tahun ia pindah ke gas.

Banyak warga Tambelan ketika itu belum berani menggunakan gas untuk memasak. Masih takut karena kejadian banyak kasus ledakan gas di televisi. Kejadian itu sempat membuat Linda khawatir.

Linda memberanikan diri menggunakan gas untuk memasak setelah melihat saudara saudaranya di Tanjungpinang sudah lama menggunakan kompor gas untuk memasak.

Namun tidak pernah mengalami hal menakutkan seperti meledak. Ia pun memberanikan diri memakai kompor gas dan tabung gas 12 Kg.

Di Tambelan, ukuran gas 12 Kg seharga Rp180 ribu hingga Rp185 ribu. Gas tersebut didatangkan dari Kalimatan Barat. Bukan dari Tanjungpinang atau Kabupaten Bintan  yang seharusnya menjadi pemasok kuota gas Kepulauan Riau.

Padahal harga gas di ibu kota Kabupaten Bintan berkisar Rp165 per tabung 12 kilogram. Gas yang dipasok ke Tambelan menggunakan kuota Kalimatan Barat. Karena jarak Kalimantan Barat melalui Kota Singkawang lebih dekat jarak transportasi ke Tambelan.

Penduduk di Kecamatan Tambelan 5.000 lebih jiwa. Sedangkan kapal ke Tambelan dari Tanjungpinang bisa dikatakan seminggu sekali. Sarana transportasi ke sana masih terbatas. Ada lebih kurang 62 gugusan pulau kecil di kawasan Kecamatan Tambelan.

Sebulan Linda bisa bertahan menggunakan tabung gas 12 Kg. Jauh sebelum menggunakan gas, Linda menggunakan minyak tanah untuk memasak. Satu botol minyak tanah ukuran botol air mineral Rp7 ribu. Waktu masih subsidi, Linda membeli minyak tanah subsidi dengan harga 10 liter Rp39 ribu.

Karena kuota subsidi sudah dicabut, maka warga Tambelan yang terkadang menggunakan minyak tanah untuk memasak terpaksa mencari minyak tanah yang dijual eceran di Tambelan.

Kapal minyak dari Anambas tak lagi masuk ke Tambelan. Karena minyak subsidi tak diedarkan di Tambelan. Padahal kuota gas tidak sesuai perhitungan. Terjadi dilema. Kompor gas belum dapat, minyak tanah subsidi pun terlalu mahal karena minyak subsidi dihentikan.

Sekarang minyak tanah di Tambelan dijual secara diam-diam. Harganya pun selangit. Pedagang di Tambelan menjual minyak tanah per 2,5 liter seharga Rp29 ribu.

Bandingkan dengan harga minyak tanah di Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepri  dengan ukuran yang sama hanya Rp18 ribu ketika Tanjungpinang Pos bertanya dengan pedagang di Pasar Bintan Center, Km 9 Tanjungpinang, September 2019.

Minyak tanah untuk Tambelan sewaktu subsidi belum dicabut dipasok melalui Tarempa, Kabupaten Anambas. Jarak Tarempa ke Tambelan lebih kurang 24 jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut. Karena sudah ada konversi ke gas, warga Tambelan mendapatkan pasokan minyak tanah dari Kalimantan Barat.

Pernah warga Tambelan yang membawa BBM dan gas dari Kalbar ke Tambelan ditangkap aparat di sana. Karena kuota BBM dan gas Kalbar dibawa ke Tambelan yang merupakan bukan wilayah Kalbar.

Karena jarak dekat dibandingkan dari Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, maka pedagang BBM lebih murah mendatangkan BBM dari Kalbar. Anggota DPRD Bintan Hasriawadi sampai marah soal ini.

”Pemerintah harus mengatur baik-baik soal tata niaga ini. Jangan sampai warga jadi korban dan ditahan karena membawa gas yang tidak sesuai kuota. Ini harus diselesaikan dan dicarikan cara agar aman,” ujar Hasriawadi, anggota dewan dari Fraksi Golkar.

Akhirnya Pertamina dan BP Migas pun setuju, pasokan gas ke Tambelan dari provinsi lain yakni Kalbar karena alasan dekat, mudah dijangkau sekitar 12 jam dengan kapal laut.

Masyarakat Tambelan menjadikan minyak tanah selama puluhan tahun sebagai bahan bakar memasak. Bahkan sampai saat ini masih ada warga yang memasak dengan menggunakan bahan bakar kayu. Karena lebih besar apinya dan hemat tidak mengeluarkan biaya besar.

Erna, yang tinggal di Kelurahan Teluk Sekuni masih menggunakan kayu bakar hingga sekarang. Jika tidak ada duit, warga menggunakan kayu bakar untuk menggilir pemakaian gas.

Harga kayu bakar yang diambil dekat hutan hutan di Tambelan dijual satu ikat Rp10 ribu.

Sejak Indonesia merdeka, warga Tambelan yang berada di Laut Natuna Utara (Sebelumnya Laut China Selatan) atau sekitar 210 Km dari Pulau Bintan masih menggunakan kayu bakar dan minyak tanah.

Enam jam dari Kecamatan Tambelan, yakni di Desa Mentebung, separuh warga sudah menggunakan gas yang dibagikan pemerintah menerapkan Tambelan sebagai salah satu daerah konversi 2018 lalu.

Saat ini pihak desa sedang mendata lagi guna jatah tambahan yang akan mereka minta ke pemerintah. Pulau Mentebung saat ini ada 100 lebih KK.

”Yang sudah konversi lebih dari 50 persen. Ini kita sedang mau menambah lagi, ujar Iswandi kepada Tanjungpinang Pos, Kamis (26/9/2019).

Walau masyarakat belum semua menggunakan gas, namun sudah ada kesadaran mereka akan pindah ke gas.

”Kita terus usahakan menambah lagi. Apalagi kondisi minyak tanah makin mahal dan susah didapat,” kata Iswandi yang belum setahun terpilih menjadi kepala desa.

Ia berharap setiap KK di Mentebung usahakan pakai gas. Namun sementara ini tertunda.

Sri Dayanti, warga Tarempa, Kabupaten Anambas sudah empat tahun menggunakan gas untuk memasak karena lebih cepat dibandingkan memasak dengan menggunakan minyak tanah.

Di Kabupaten Anambas, belum ditetapkan sebagai kawasan konversi. Sehingga harga gas per tabung agak tinggi dibandingkan dengan di Tanjungpinang.

Ukuran 12 Kg, di Tarempa sebagai pusat ibu kota Anambas gas dijual Rp215 ribu. Jauh lebih mahal dibandingkan di Tanjungpinang yang hanya Rp165 ribu per tabung.

Sedangkan harga minyak tanah per 9 liter hanya Rp 45 ribu. Tak jauh dari kediaman Sri Dayanti, ada Ida Susila (55) juga menggunakan gas sejak lama. Walaupun di Tarempa, harga gas mahal, itu bukan persoalan. Ida tetap menggunakan gas untuk memasak.

Erwin, pemilik Rumah Makan Papadaan di Tanjungpinang mengakui, ia biasa menghabiskan 4-5 tabung per bulan untuk memasak makanan yang dijual di warungnya.

”Tentu kita pakai gas karena proses cepat untuk memasak. Sejak berjualan lebih dari 10 tahun lalu, kami pakai gas memasak,” katanya, Minggu (30/9).

Begitu juga Ilham, pemilik rumah makan di Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Ia memilih menggunakan gas dan kompor. Walau harga gas agak mahal di Dabo, namun ia tetap menggunakan gas karena cepat dan praktis.

Ada masakan yang tidak bisa menggunakan gas untuk memasak seperti lempeng sagu. Kalau menggunakan gas akan hangus. Maka Ilham memilih memasak dengan kompor menggunakan minyak tanah.

Ia memahami pemerintah belum menjadikan Lingga kawasan konversi gas karena medan yang cukup sulit untuk distribusi gas.

”Tak masalah gas mahal dibandingkan dengan Tanjungpinang atau Batam. Yang penting masih tersedia di Dabo,” tutur Ilham yang juga aktivis LSM di Lingga itu. Ilham menggunakan kompor kalau musim Lebaran tiba untuk memasak kari dan ketupat. Sebab apinya lebih besar.

Hidayat, pensiunan guru di Ranai, Kabupaten Natuna juga sudah lama di rumahnya menggunakan gas. Kadang di kapal ikan yang dia bawa untuk mencari ikan ada kompor gas.

Edy Zulfikar juga demikian. ASN yang sehari hari bekerja di Kantor Bupati Natuna itu juga sejak lama pakai gas di rumahnya. Alasan tetap sama yakni praktis dan tidak cepat kalau memasak.

Sementara itu di Kabupaten Karimun, Ahmad Sulton salah satu warganya mengakui lama menggunakan gas. Karimun ditetapkan sebagai kawasan konversi gas pada 2018 lalu.

”Saya pakai gas sejak 2009 ketika awal menikah hingga saat ini. Dengan gas fleksibel tak sudah tinggal pencet, gas keluar,” kata Sulton.

Harga gas di Karimun per tabung Rp185 ribu ukuran 12 Kg. Dia mengakui, akhir ini minyak tanah mulai berkurang di Karimun.

Muharani, warga Bengkong Harapan, Kota Batam, Provinsi Kepri juga lama menggunakan gas. Muharani sehari hari membuat keripik untuk diletakkan di warung warung dekat rumahnya.

Menurut Muharani yang menggunakan gas 3 Kg itu, dengan menggunakan gas memasak keripik lebih cepat masak dibandingkan dengan kompor yang menggunakan minyak tanah.

”Harga gas di Batam untuk yang 3 Kg Rp ditetapkan saat ini Rp18 ribu. Kenaikan ini dianggap sedikit memberatkan pelaku UMKM seperti Muharani yang sehari hari berjualan. Sedangkan suaminya tukang jahit. ***

Nelayan tradisional Bintan menjaring ikan bilis di perairan Bintan, belum lama ini.

Bantu Nelayan Memasak di Laut

Sejak ada program konversi minyak ke gas yang mulai diberlakukan di Tambelan tahun 2018, warga Tambelan menyambut program itu dengan senang. Seluruh aparatur desa di Tambelan mengenalkan program pemerintah itu kepada warga.

Misalnya di Desa Hilir, gencar melakukan sosialisasi kepada warga. Acara pun berlanjut dengan pembagian kompor gas beserta tabung 3 Kg di lokasi berbeda yaitu di RT 03 RW 01 Dusun I Desa kampung Hilir.

Dare, salah satu warga di Tambelan kecewa karena namanya tidak masuk penerima bantuan dari pemerintah seperti kompor gas dan tabung.

”Padahal saya termasuk yang harusnya diberikan bantuan,” ujar Dare yang membuka usaha bakso ikan itu.

Ia kecewa karena tidak dapat tabung gas dan kompor gratis. Bupati Bintan Apri Sujadi, meminta pihak terkait untuk menambah kuota gas subsidi.

Hal itu disanggupi Apri ketika melakukan kunjungan kerja ke Tambelan beberapa bulan yang lalu. Salah satu aspirasi warga Tambelan soal minimnya gas di Tambelan. Masyarakat masih meminta Bupati Bintan itu soal gas karena mereka banyak yang belum dapat. Apri segera menindak lanjuti permintaan tersebut.

Ia menjelaskan, usulan gas LPG juga pernah diajukan saat usulan program konversi gas untuk Kecamatan Tambelan diambil dari Kota Singkawang telah disetujui oleh Kementerian ESDM, dan karena alokasi kebutuhan masih kurang maka hal ini dirasa perlu kembali dikaji guna pemenuhan kecukupan alokasi gas.

”Kita sudah bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana. Beberapa usulan-usulan dan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah daerah juga sudah kita sampaikan. Seperti halnya menggesa penambahan alokasi kuota gas LPG 3 Kg.

Masyarakat Tambelan mendapat bantuan tabung gas 3 Kg pasca daerah ini ditetapkan sebagai daerah konversi minyak ke gas.

Saat ini di Tambelan baru 923 Kepala Keluarga (KK) dari 4 kelurahan dan 4 desa yaitu Kelurahan Kampung Melayu, Kelurahan Kampung Hilir, Kelurahan Batu Lepuk, Kelurahan Teluk Sekuni, Desa Pulau Pengikik, Desa Mentebung, Desa Kukup, dan Desa Pulau Pinang yang menerima konversi gas.

Padahal jumlah KK di Tambelan sekitar 1.700 KK. Setidaknya ada 600 KK yang belum dapat tabung gas bersama dengan kelengkapan lainnya. Jika dikurangi lagi yang kategori ASN, bisa jadi 400 KK lagi yang diperlukan.

”Makanya kami bersama dengan Pak Camat akan ke Jakarta menemui pihak BP Migas dan pihak terkait lainnya guna menambah jumlah gas. Karena ada warga yang tidak dapat, namun mereka ingin pindah ke minyak tanah,” kata Jerry, salah satu pejabat eselon IV di Kantor Kecamatan Tambelan yang biasa ikut rapat soal gas ini kepada Tanjungpinang Pos, Rabu (25/9/2019).

Menurut dia, banyak juga nelayan di Tambelan yang pergi melaut memerlukan gas sebagai sarana untuk memasak. Karena nelayan nelayan Tambelan sekali melaut mereka hingga lima hari di laut. Setelah ikan banyak dapat baru balik ke Tambelan.

”Selama di laut itu mereka memerlukan tabungan gas dan perlu gas untuk memasak karena lebih praktis,” ujarnya.

Jerry dan Camat Tambelan Sofyan  bersama dengan aparatur Pemda Bintan akan ke Jakarta untuk minta tambah kuota gas dan kompor gas.

Ipen (35), nelayan Desa Kukup, Kecamatan Tambelan mengaku memakai gas di kapal penangkap ikan miliknya.

”Kita pakai gas 3 Kg, mudah dibawa bawa. Ipen kalau melaut membawa 3 anak buah dan lima hari sekali pulang ke rumah. Kalau tak bermalam, dapat ikan agak susah. Makanya kita bermalam di dekat laut supaya hemat solar tidak bolak balik,” katanya.

Edek Helmi, Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Provinsi Kepri menyatakan, memang di Kecamatan Tambelan adalah daerah susulan konversi di Kepri bersama dengan Kabupaten Karimun.

Sebelumnya di Provinsi Kepri sudah mulai konversi sejak 2014. Daerah yang sudah ditetapkan itu yakni Batam, Bintan dan Tanjungpinang.

Tambelan yang menjadi bagian Bintan tertinggal karena dianggap agak jauh sehingga nantinya terkendala transportasi yang akan membawa tabung gas. Baru di 2018, Tambelan menyusul daerah lainnya di Kepri melaksanakan konversi.

Sementara di Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas karena daerah kepulauan yang jarak tempuh jauh dari Kepri belum dilakukan konversi.

Pernah kejadian baru baru ini kapal yang membawa ribuan tabung gas tenggelam tujuan ke Karimun. Sehingga ribuan tabung gas itu tenggelam.

”Pertamina memikirkan lagi hal ini untuk melakukan konversi di daerah kepulauan lainnya di Kepri,” kata Adek Helmi.

Saat ini di Karimun karena sudah mendekati setahun minyak tanah subsidi yang dipasok di Karimun mulai berkurang. Tinggal 10 persen saja minyak minyak tanah dipasok ke Karimun.

”Mungkin tidak lama lagi minyak tanah subsidi akan habis 100 persen diganti gas. Jika warga ingin sesekali menggunakan minyak tanah non subsidi, Pertamina sekarang menyediakan produk Mintanku,” kata Adek.

Mitanku sudah dikemas Pertamina sebagai produk non subsidi. Dijual Rp15 per 1 liter, Adek yakin mereka yang menggunakan minyak tanah subsidi dapat membeli itu.

Dia melihat program konversi di Kepri dari minyak tanah ke gas berjalan sukses. Karena kebutuhan gas di tiap daerah konversi masih terpenuhi.

Jika warga masih kurang, maka melalui Pemda atau Bupati, bisa mengusulkan tambahan gas ke Pertamina. Nanti mereka yang memutuskan apakah menambah jumlah atau tidak. Tentu sesuai dengan data yang valid.

Dan yang agak masih menjadi masalah adalah soal distribusi minyak subdisi dan solar yang harus menggunakan cara yang tepat. Sehingga tidak disalurkan ke tempat yang salah.

”Karena namanya barang subsidi jauh lebih murah dibandingkan dengan industri. Ini yang harus kita atur baik baik,” ujarnya.

Karena itu untuk di Batam mereka berkerja sama dengan BRI menerbitkan kartu mirip ATM sebagai kartu kendali bagi siapapun yang berkepentingan. Jika sudah mengisi sesuai dengan jatah yang ditetapkan, maka kendaraan tersebut tidak dapat mengisi lagi di tempat lain.

”Dan ini masih berjalan di Batam. Nama produknya Brizi,” katanya.

Bahkan untuk kendali gas tabung, Pertamina mulai menggunakan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Pertamina menggalakkan implementasi cashless payment system untuk agen dan pangkalan elpiji.

Sistem ini juga mendukung rencana distribusi elpiji tertutup yang akan ditetapkan pemerintah tahun depan.

Cashless payment system LPG adalah sistem untuk pangkalan melakukan transaksi pemesanan maupun pembayaran elpiji kepada agen secara non tunai.

”Sistem ini bermanfaat meningkatkan kehandalan stok elpiji di tingkat pangkalan,” tutur Roby Hervindo, Unit Manager Communication & CSR MOR I.

Sampai Juni 2019, konsumsi elpiji bersubsidi 3 Kg di wilayah Provinsi Kepri mencapai lebih dari 8 juta tabung. Sedangkan konsumsi elpiji non subsidi Bright Gas 5,5 kilogram dan 12 kilogram mencapai Rp67 ribu dan Rp73 ribu per tabung. ***

Pantau Distribusi Hingga Pulau Kecil

Belum lama ini Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Ignasius Jonan menjadikan Provinsi Kepulauan Riau, satu dari empat Provinsi di Indonesia sebagai ‘Pilot Project’ Kebijakan Subsidi LPG Tabung 3 KG Tepat Sasaran.

Program ini memberikan uang untuk masyarakat miskin melalui Kartu Keluarga Sehat guna membeli gas 3 Kg. Dengan demikian tidak ada lagi masyarakat mampu yang menggunakan gas 3 Kg.

Untuk Kepri Kementerian ESDM mengambil Kota Batam sebagai pulau yang menjadi percontohan kebijakan baru tersebut. Selain itu ada Bangka Belitung, Bali, dan Lombok.

Menurut Jonan distribusi konversi BBM ke Gas yang telah berjalan selama ini tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan gas 3 Kg. Justru sebaliknya, pengguna gas 3 Kg lebih banyak masyarakat mampu.

Ditambah lagi beda jauhnya  harga gas 3 Kg dengan gas 12 Kg yang diperuntukan bagi masyarakat mampu. Sehingga membuat gas 3 Kg yang notabena disubsidi pemerintah dipindahkan ke gas 12 Kg.

Akibatnya kuota gas 3 kg melebihi peruntukan dan menyedot anggaran negara. Apabila kelima program yang sedang dijalankan Kementerian ESDM ini terlaksana menyeluruh bisa menghemat hampir Rp.50 triliun uang negara yang dikucurkan untuk subsidi gas 3 Kg selama ini.

Maka ke depan  diterapkan pembelian gas 3 Kg untuk masyarakat miskin dengan memberikan uang tunai melalui Kartu Indonesia Sehat. Yang mendapatkan Kartu ini adalah masyarakat tidak mampu. Kalau masyarakat yang mampu masih berebut kartu tersebut, tidak tau lah saya itu.

”Nanti kita evaluasi lagi. Selain itu kita terapkan percepatan BBM satu harga,” ungkap Jonan pada Rapat Kebijakan Subsidi LPG Tabung 3 KG Tepat Sasaran di Kantornya.

Jonan menjelaskan Kementerian ESDM yang dipimpinnya mempunyai lima target untuk rencana konversi ini dengan rentang realisasi mulai pertengahan 2017-2019.

Kelima target tersebut adalah melakukan konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg untuk seluruh wilayah Indonesia dengan target realisasi tuntas pada tahun 2019, menghitung ulang kuota dan realisasi LPG 3 Kg dengan membuat contoh di empat pulau, yakni Batam, Bangka Belitung, Bali dan Lombok, Rencana subsidi LPG Tabung 3 Kg tepat sasaran dengan memberikan uang tunai melalui kartu Indonesia Sehat dengan percontohan Batam, Babel, Bali dan Lombok.

Adek Helmi menyambut baik program pemerintah itu.

”Kalau tujuan untuk melakukan kontrol itu baik sekali. Jangan sampai tabung subsidi dipakai orang yang tak tepat. Salah sasaran namanya,” tegas Adek Helmi.

Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Iskandarsyah juga mengingatkan negara harus hadir memantau harga gas sampai di pulau-pulau kecil.

”Saya melihat jika di kota besar atau pulau pulau besar tak apa. Karena pemerintah ingin mengurangi beban subsisi. Tapi Kepri banyak pulau kecilnya banyak dan ada penghuni di sana. Ini yang perlu diperhatikan seperti ketersediaan dan harga jangan sampai mahal,” kata politisi PKS alumni Belanda itu.

Menurut dia, untuk Kepri jika ada gelombang tinggi supplai gas dari Batam Tanjunguban ke pulau selalu bermasalah. Kalau mau ada jaminan pemerintah melalui Pertamina agar harga tak mahal dan tersedia.

Di Karimun khusus kawasan yang dikonversi, saat ini harga masih tinggi. Tapi tak setinggi harga di Tambelan.

”Kalau dari target saya pikir progress nya bagus tapi jangan timbul masalah lain yakni soal harga dan ketersediaan yang kontinyu harus dijaga baik baik oleh Pertamina. Harus ada kebijakan utk masyarakat di pulau biar pemerintah dirasakan hadir,” tuturnya.


Mitanku yang dikemas dalam platik di Batam untuk mengganti minyak tanah subsidi.

Stok Gas di Perut Bumi Kepri Berlimpah

Pemerintah saat ini masih membanggakan program konversi minyak tanah ke elpiji (LPG) yang telah berjalan sejak 2007 lalu.

Program ini telah menghemat anggaran subsidi Rp197,05 triliun sejak 2007. Jusuf Kalla ketika menjadi Wakil Presiden termasuk yang mempelopori program konversi agar APBN tak terlalu banyak tersedot di subsidi BBM.

Dari catatan Pertamina, penghematan subsidi dari minyak tanah bisa mencapai sebesar Rp197 triliun. Pengeluaran nelayan hemat Rp700 ribu per bulan berkat konversi BBM ke LPG.

Bahkan kini Pertamina melakukan varian baru dengan menyiapkan untuk kendaraan dengan sistem Vi-Gas.

Selain itu, konversi BBM seperti Premium ke LPG juga bisa mengurangi polusi udara, serta harganya lebih murah dan efisien.

Program itu juga mendorong pembukaan lapangan kerja, di mana saat ini sebanyak 89 juta tabung LPG 3 Kg beredar di masyarakat. Saat ini 3.250 agen dan 128.044 pangkalan elpiji 3 Kg yang tersebar hingga pelosok.

Besarnya potensi gas alam yang sangat besar dan manfaat-manfaat lainnya yang diperoleh dari program konversi membuat Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan BBG sebagai bahan bakar pengganti BBM.

Namun pengalaman kegagalan program konversi BBM ke BBG di beberapa kota memberi pelajaran untuk pengembangan program konversi selanjutnya. Dan hal itu jangan sampai terjadi di kawasan daerah di Kepri yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konversi.

”Untuk di Lingga saat ini dilakukan konversi saya kira memang agak sulit. Karena pulau pulau itu sulit dan menjadi biaya transportasi jadi tambah mahal. Kalau gelombang tinggi, gas tidak masuk dan bisa menyebabkan kelangkaan gas. Jadi saat ini BBM seperti solar jangan ditarik dulu,” ujar Ilham Saputra, dari LSM Panglima, Kabupaten Lingga.

Dari pengalaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kegagalan program konversi di beberapa kota antara lain disebabkan oleh suplai/pasokan gas yang sulit/terbatas, jumlah SPBG yang sangat sedikit dan lokasinya yang tidak strategis, infrastruktur jaringan pipa gas yang minim.

Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dilakukan agar program konversi ini dapat berjalan sukses, yaitu pengadaan konverter kit, jaringan distribusi termasuk pengadaan SPBG, dan ketersediaan pasokan gas.

Keberhasilan program konversi akan membuat Indonesia dapat menikmati manfaat dari pengalihan anggaran subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati oleh orang mampu menjadi lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.

Plt Gubernur Kepri Isdianto mengingatkan Pertamina dalam mensupport dan distribusi gas di kawasan di Kepri harus teratur. ”Yang penting pengawasan dan distribusi harus diperhatikan,” kata Isdianto.

Ketua DPRD Provinsi Kepri sementara Lis Darmansyah mengingatkan Pertamina memperketat jalur distribusi gas dan BBM. Pernah Lis sampai turun ke SPBU untuk melihat antrean sopir-sopir truk besar yang dikhawatirkan menggunakan BBM subsidi untuk kepentingan bisnis dan usaha tambang.

Di Kabupaten Bintan yang bertetangga dengan Tanjungpinang memang masih ada tambang tambang seperti tambang pasir.

Sedangkan untuk gas 3 Kg, Lis melihat distributor masih aman. Sewaktu Lis menjadi Walikota Tanjungpinang ia enggan menyetujui kenaikan HET gas 3 Kg. Karena menurut dia, kenaikan akan menyebabkan pelaku UMKM yang memasak menggunakan gas, terbebani.

”Mereka harus menjual gorengan dengan harga lama tentu rugi. Sementara jika dinaikkan akan menyebabkan pembeli jadi berkurang. Tentu itu kita pertimbangkan untuk menaikkan harga,” ujar Lis.

Tapi sejak Walikota Tanjungpinang berganti ke Syahrul, HET gas 3 Kg naik berlahan menjadi Rp18 ribu. Kenaikan itu menyesuaikan kondisi daerah.

”Kita lakukan penyesuaian sesuai dengan hasil kajian,” kata dia.

SK Walikota Tanjungpinang Nomor 432 tahun 2018 tanggal 29 November 2018  telah ditetapkan harga HET LPG 3 Kg sebesar Rp 18 ribu.

Kenaikan tersebut diberlakukan mulai  Januari 2019. Pangkalan tidak dibenarkan menjual di atas HET, apabila ada temuan di lapangan penjualan LPG diatas HET pihak berwenang tidak segan-segan untuk memberikan sanksi hingga pemutusan hubungan kerja.

Kenaikan tersebut harga baru sejak diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas pada tahun 2010, HET LPG 3 Kg Rp15 ribu, berdasarkan SK Walikota Nomor 34 tahun 2010 tentang HET LPG 3 Kg untuk wilayah Kota Tanjungpinang.

Konversi dari BBM ke gas merupakan mengubah kebiasaan masyarakat ke arah lebih baik.

Selain praktis, move on membuat negara banyak menghemat anggaran yang dapat dialihkan untuk kepentingan publik lainnya.

”Kepri sebagai salah satu daerah penghasil gas terbesar di Indonesia berharap, gas yang dinikmati warga Kepri masih murah dan terjangkau untuk kepentingan masyarakat,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah ( DPD) RI Hardi Selamat Hood.

Apalagi di Kepri termasuk daerah yang sulit secara transportasi karena banyak pulau. ”Pemda dan Pertamina memang harus melakukan kontrol yang ketat soal harga. Jangan sampai terlalu mahal seperti di Tambelan dan kawasan kepulauan lainnya di Kepri. Apalagi di Natuna dan Anambas adalah daerah penghasil minyak dan gas di Indonesia. Jadi jangan mahal mahal harga gas di negeri penghasil ini,” ujar Hardi yang 10 tahun menjadi anggota DPD RI.

Natuna menurut para ahli, memiliki satu salah satu cadangan gas terbesar di dunia.

Yaitu Blok Natuna D-Alpha merupakan blok gas dan minyak yang menyimpan sekitar 500 juta barel. Total potensi gas diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik, dan inilah cadangan terbesar di dunia yang tidak akan habis dieksplorasi seratusan tahun ke depan.

”Ternyata kekayaan kita menang belum maksimal digarap untuk kesejahteraan masyarakat Kepri terutama di kawasan kepulauan seperti Natuna, Anambas. Karena harga gas di Natuna dan Anambas termasuk di Tambelan sangat tinggi. Ke depan BUMD fokus di bidang pertambangan ini nantinya diharapkan dapat menyumbang pendapatan asli daerah dari migas,” kata Huzrin Hood, abang dari Hardi Hood yang saat ini Komisaris BUMD Kepri yang sedang berjuang untuk mendapatkan bagi hasil 10 persen dari perusahan migas yang operasi di Natuna.

Akhirnya, Pertamina sebagai pengendali tata kelola gas untuk keperluan rumah tangga dan kendaraan, dianggap sukses melakukan move on dari BBM ke gas.

”Menjadikan Tambelan sebagai kawasan konversi dengan kondisi alam yang sebenarnya tidak mendukung, adalah keberanian. Ini bukti Pertamina memberikan pengabdiannya dengan tulus hati bagi bangsa dan negara Indonesia,” ujar Fiven Sumanti, anggota DPRD Bintan mengakhiri. Di rumahnya Fiven juga menggunakan gas.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *