Oleh: Asro Kamal Rokan
Anggota Dewan Kehormatan
PWI Pusat (2018-2023)
WAMENA berangsur pulih. Kelompok kriminal bersenjata, yang turun dari gunung dan melakukan pembakaran, telah kembali ke gunung. Beberapa lainnya ditangkap aparat keamanan. Namun ketakutan belum reda. Sekitar sepuluh ribu pendatang mengungsi.
Kerusuhan Wamena, Senin (23/9/2019) menyentakkan banyak orang, di saat perhatian tertuju pada unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota, yang disebut-sebut ada penunggang. Jakarta terlihat sangat fokus pada aksi unjuk rasa — bahkan disebut-sebut melibatkan Islam radikal, petugas medis, juga pendukung sepakbola. Wamena seakan sangat jauh.
Senin itu, gerombolan kriminal — demikian biasa disebut — membakar kota Wamena, mengejar, dan membunuh masyarakat sipil. Kepolisian mencatat, 33 orang tewas, ratusan lainnya mengalami luka, ratusan rumah dibakar.
Ini sungguh menyedihkan. Langit seakan runtuh di Wamena. Rasa kemanusiaan terguncang begitu keras. Kelompok bersenjata, yang selama ini berteriak tentang pelanggaran hak asasi manusia, justru melakukan pembantaian — yang jauh dari kemanusiaan. Pembunuhan yang mereka lakukan, seperti kisah zaman purba, tanpa hukum. Lihatlah tragedi dokter Soeko Marsetiyo. Dokter yang dengan sangat rela mengabadikan dirinya selama 15 tahun di Tolikora, terjebak dalam unjuk rasa. Soeko tewas di bumi yang dicintainya.
Hari itu, dokter Soeko menuju Wamena dari Puskesmas Talikora. Di Wamena, Soeko terjebak kerumunan masa pengunjuk rasa. Mobilnya dibakar. Soeko coba keluar, namun massa sangat biadab, membacoknya. Soeko tewas. Polisi menyebutkan, Soeko meninggal akibat cidera kepala, luka bacok, dan luka bakar di bagian punggung.
Sehari sebelum kematian yang tragis itu, menurut keluarga, dokter Soeko mengirim pesan pendek (SMS) kepada beberapa keluarga. Isi pesan pendek itu berupa potongan Ayat Kursi. Lihat pula kisah Sri Lestari, pedagang baju keliling asal Solo, berhasil lepas dari maut. Ketika itu, Sri dan sembilan orang lainnya, naik mobil untuk menyelamatkan diri ke Polres Jayawijaya. Di perjalanan, mobil mereka dihadang. Dipaksa turun, diseret, dan dipukuli.
“Mereka menyeret paksa kami keluar dari mobil. Kami diperlakukan seperti binatang. Apa salah kami?” kata Sri, menangis saat diwawancarai kumparan.com, Rabu (25/9). “Saya ditusuk di pinggul sebelah kanan, lalu di dada dan dagu. Saya yakin ini kuasa Tuhan, masih diberi hidup sampai detik ini.”
Sri selamat setelah anggota Brimob tiba di lokasi dan melepaskan tembakan. Massa pun bubar. Namun Sri tak tahu lagi nasib sembilan orang lainnya, termasuk empat anak-anak. Dia hanya ingat teriakan minta tolong dan tangisan anak-anak yang diseret dan dipukul para pedemo.
Kebrutalan kelompok bersenjata itu, tentu kita yakini tidak mewakili masyarakat Wamena. Lihatlah, warga berupaya melindungi pendatang dari amuk massa yang tidak mereka kenal — sampai di kandang babi.
Nani Susongki, wanita asal Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merasakan betul pertolongan Mama Manu, warga Wamena. Ketika kerusuhan mulai terjadi, Mama Manu menyembunyikan Nani di honai (rumah).
“Kami mundur pelan-pelan. Saya pikir bagian dari orang yang rusuh, ternyata mereka menolong kami. Mereka suruh kami masuk ke rumah Mama Manu. Hampir satu jam kami bersembunyi tak bersuara, bersama beberapa warga lain,” ujar Nani.
Hampir satu jam disembunyikan Mama Manu — yang tentu juga siap dengan risiko— Nani Susongki dan beberapa warga yang ikut berlindung, dievakuasi polisi ke Polres Jawijaya. Setelah tiga hari di Polres, Nani bersama keluarganya memilih mengungsi ke Jayapura, dan berencana kembali ke kampung halaman.
Ketua Dewan Adat Papua Domi Surabut salah seorang saksi hidup salah satu kejadian itu. Seperti dilaporkan Repubika, Selasa (1/10), Domi menyaksikan deretan rumah toko (ruko) di Jalan Transpapua dibakar. Sejumlah pendatang masih terjebak di salah satu ruko. Mereka berteriak minta tolong.
Domi dibantu menghadapi perusuh dan meminta mereka tidak membunuh pendatang. Dibantu beberapa warga lokal Wamena lainnya, Domi mengevakuasi tiga pria, satu perempuan, bayi berusia dua bulan ke Gereja Katolik Bunda Maria.
Hingga malam tiba, kata Domi, sekitar 25 pendatang sudah di dalam gereja. Ada pendatang, ada guru-guru, ada juga tenaga medis. Hampir 24 jam para pengungsi berdiam di gereja tersebut. Mereka bermalam dan kemudian keesokan harinya dijemput aparat menuju tempat pengungsian.
Kisah yang menyentuh.
Persaudaraan yang ikhlas.
Bara Wamena telah redup. Namun, kehidupan belum pulih. Kekhawatiran masih menyebar. Di sinilah, peran para pemimpin diperlukan, meredakan ketakutan.
Kelompok bersenjata ini harus diakhiri. Masyarakat menanti jaminan tersebut. Ini karena, serangan yang mereka lakukan, tidak sekali ini saja. Mereka telah melakukan pelanggaran kemanusiaan yang luar biasa. Tidak ada tempat lagi bagi mereka. Negara harus tegas soal ini.
Kita berharap ini yang terakhir. Negara dengan segala kekuatan yang dimiliki harus digunakan. Berbagai pendekatan harus dilakukan, tidak saja soal kesejahteraan dan keadilan, tapi juga pendekatan kultural.
Hidup dalam kedamaian adalah warisan untuk hari esok, untuk anak cucu Indonesia. Sebagai warisan, kedamaian dimulai saat ini. ***